jangan babisabisa mun kada tahu


Rabu, 10 Agustus 2011

ARUH SASTRA, BARABAI BAGAIMANA ?


Oleh: Ali Syamsudin Arsi

Tiba-tiba saja di hadapan saya berdiri dua orang yang langsung menyapa dan memperkenalkan diri. “Tugas kami sebagai Pemandu dalam acara ini, bila ada yang diperlukan maka kami berdua siap membantu semampunya. Silahkan menghubungi nomor kami. Dan sewaktu-waktu, kami akan menghubungi nomor yang Bapak-Ibu miliki, terutama apabila mendekati permulaan acara, sesuai dengan jadwal yang telah ada. Kami akan melayani, bahkan ketika acara sedang berlangsung, kami akan melaporkan kepada penanggung jawab acara bahwa kehadiran atau ketidak-hadiran peserta. Segala persoalan silahkan sampaikan kepada kami, apabila kami tidak mampu memberikan yang terbaik maka akan kita bahas bersama cara menyelesaikannya.”

Ternyata para Pemandu itu tidak hanya dua orang saja. Mereka dikumpulkan saat saya memanjakan tubuh di lobi hotel. Saya hitung sekitar 30 orang, mereka memperhatikan dengan tertib, serius dan patuh. Ada petunjuk khusus yang mereka bicarakan, itu berjalan tidak hanya sekali tetapi pada waktu-waktu tertentu agar selalu dalam koordinasi yang terjaga dan intens. Sesekali mereka bercanda. Dari info yang saya ketahui, mereka berasal dari beberapa sanggar seni yang direkrut sebagai relawan untuk suksesnya agenda yang saya ikuti. Rombongan saya yang akan berhubungan dengan kedua Pemandu tadi jumlahnya ada 15 peserta, setiap rombongan memang bervariasi jumlahnya. Cerita ini terjadi pada agenda Temu Sastrawan Indonesia 1 di kota Jambi tahun 2008 yang telah lewat, sangat berkesan masalah ini.

Pagi-pagi sekali, ada bunyi sms yang masuk ke gendang telinga. Cepat saya buka, dan saya baca, “maaf bapak, saya Arman, Pemandu Bapak. Saat ini Bapak ditunggu di ruang makan, nanti tepat pukul 20.30 acara pembukaan dimulai.” Semua peserta mendapatkan pesan sms ini, tanpa ada yang tertinggal. Akh, tidak berlebihan untuk sebuah pelayanan. Ternyata bentuk profesional penyelenggaraan sebuah agenda haruslah diseting sedemikian rupa. Tidak hanya itu, sms lain pun akan datang dengan ramah, “selamat malam Bapak, selamat beristirahat, semoga besok pagi menjadi segar kembali.” . atau dengan nada-nada memperingatkan bahwa, “selamat pagi Bapak, ditunggu di ruang makan untuk sarapan pagi, acara seminar akan dimulai pukul 08.30 tepat.. Salam untuk Bapak.”.

Keramahan seperti apa yang kita rasakan dalam pelayanan seperti itu, bukan hanya dalam bentuk komunikasi jarak jauh saja, tetapi ketika berada di depan pintu masuk ruang makan pun telah pula tersedia tenaga-tenaga sukarela yang akan siap membantu bila memang diperlukan. Saya sebagai peserta tidak harus mengenal seluruhnya tetapi hanya beberapa orang saja sudah cukup merasakan bahwa saya bukan orang asing dalam acara tersebut. Awalnya adalah benar saya sangat menunggu penjelasan dari Pemandu, tetapi selang beberapa waktu maka proses adaptasi dari rasa ‘keterasingan’ itu lentur dan membaur, walau komunikasi dan kesediaan para Pemandu tetap saja disiagakan, karena ada dan banyak peserta yang memang memerlukan bantuan mereka. Secara umum, dari rekan-rekan satu rombongan memberikan apresiasi positif terhadap keberadaan Pemandu dan kesigapannya. Para Pemandu itu khusus ditugaskan sebagai Pemandu, mereka tidak diberikan beban tugas yang lain. Ini menjadi sangat profesional. Data para peserta yang berada di luar arena pun akan dapat terpantau, di mana dan sedang apa mereka, karena Pemandu akan melacak sesuai jumlah dalam tanggung jawabnya. “Bapak berada di mana, saat ini ada yang ingin bertemu Bapak, ditunggu di sekretariat, terima kasih”.

Kami, juga saya dalam rombongan itu, tidak pula ingin diperlakukan dengan sangat istimewa tetapi alangkah elok dan manisnya bila kesuksesan sebuah acara dimulai dari sikap melayani itu dirasakan oleh semua yang terlibat di sana. Tidak pula terlalu memanjakan, tetapi saling mengingatkan terutama masalah jadwal dan waktu serta kehadiran para peserta adalah penting. Dengan hanya dua Pemandu untuk 15 peserta adalah jumlah yang cukup berimbang, tidak perlu dengan satu berbanding satu. Tentu saja Pemandu terlebih dahulu memiliki dan sedikit menguasai materi apa, siapa, bagaimana, kapan, di mana, agenda itu berjalan dari awal acara sampai nanti berakhir agenda. Memulai untuk bersikap melayani, alangkah indahnya.

Bagaimana dengan Aruh Sastra di Barabai setelah Tanjung sukses melakukan agenda ?

Bukan hanya Tanjung, tetapi Marabahan sudah, Paringin sudah, Amuntai sudah, Kotabaru sudah, Pagatan sudah, Kandangan sudah. Satu hal pula yang harus dicatat, yaitu mampukah pelaksanaan Aruh Sastra itu membiaskan nilai-nilai positifnya kepada perkembangan, kemajuan pembangunan kepada daerah tempat penyelenggaraannya. Satu misal, sastra yang telah lama masuk dalam kurikulum pembelajaran dari tingkat sekolah dasar sampai menengah, bahkan masuk pula di ranah perguruan tinggi. Pertanyaannya, seberapa besar antusias perserta didik tadi dalam “bersastra”, atau sudah sejauh apa motivasi para gurunya terlibat dalam dunia sastra yang harus dan wajib disampaikannya kepada peserta didiknya di muka kelas.

Dunia Sastra adalah Dunia Pendidikan, ini akan tertuju pada keterlibatan Dinas Pendidikan, pertanyaannya, maukah mereka melibatkan diri padahal ini juga bagian dari tugasnya, ataukah mereka hanya tutup mata tutup telinga saja. Atau mereka akan menjawab, “Kami tidak diundang, kami tidak dilibatkan, kami tidak diajak,” atau dengan berbagai alasan lain karena masih banyak ‘proyek lain yang menunggu’. Contoh lain lagi adalah Aruh Sastra ini dapat menjadi pijakan untuk membuka isolasi-isolasi wisata budaya sebagai aset kepariwisataan dan itu harus dimulai sejak jauh sebelum hari H-nya aruh sastra itu sendiri.

Dunia Sastra adalah Dunia Kebudayaan, misalnya alangkah sinerginya bila pihak dinas yang terkait kepariwisataan melakukan Lomba Cipta Mengarang yang fokus cerita adalah tempat-tempat tertentu yang ada di wilayah (Hulu Sungai Tengah ), entah berupa cerita rakyat yang telah berkembang dan telah banyak dikenal oleh masyarakat luas atau dengan inovasi-inovasi cerita yang lebih menarik. Ini akan berdampak kepada ketokohan, keunggulan, bahkan imaji-imaji lain yang pada tahap awal adalah ‘memperkenalkan’ tetapi di masa-masa akan datang menjadi tujuan para wisatawan lokal atau asing. Promosi daerah itu harus bersinergi dengan agenda ini, dan nilai positifnya tentu saja terasa.

Apam Barabai sangat dikenal, tetapi dapatkah ia menjadi lebih awet agar mampu bertahan untuk beberapa hari dari waktu pembuatannya. Dari pemikiran yang dimulai imajinatif akan mampu memberikan stimulus ke arah pemanfaatan teknologi agar persoalan itu terpecahkan, lihatlah Dodol Kandangan yang mampu bertahan lama dan dapat ditemui di mana saja, terutama di wilayah Kalimantan Selatan. Bagaimana Barabai, siapkah dengan inovasi pemikiran yang dipicu oleh suksesnya agenda Aruh Sastra di sana pada tahun 2011 nanti setelah kota-kota lain telah sukses sebagai Tuan Rumah, tentu Pelayanan terhadap para Peserta tidaklah kita abaikan. Kesiapan ini juga tidak terlepas dari segi pendanaan yang memadai sesuai anggaran yang diharapkan oleh panitia. Bila tidak maka akan berdampak kepada pelaksanaan secara keseluruhan.

Salam sastra,





ARUH SASTRA, BARABAI MENUNGGU KOMITMEN


Oleh: Ali Syamsudin Arsi

Kalimat lengkap dan santun dari judul tulisan ini sebenarnya begini : ‘Aruh Sastra Kalimantan Selatan VIII di Barabai tahun 2011 menunggu komitmen tegas dan nyata dari semua unsur yang terlibat di dalamnya.’

Kalimat lengkap itu menggiring kepada pertanyaan penting, yaitu ‘semua unsur yang terlibat di dalamnya itu siapa saja?’ Unsur-unsur itu tentu saja dari hal terkecil sampai ke posisi tertinggi, dan satu dengan yang lain memiliki kesamaan pandang, kemitraan, koordinasi, keterbukaan, efektifitas dan saling memahami. Pihak pertama adalah komitmen dari Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Hulu Sungai Tengah, Dinas Pemuda Olah Raga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Dinas Pendidikan Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Dewan Kesenian Murakata, Kelompok-kelompok atau Sanggar-sanggar seni (sastra dan teater) yang ada di Hulu Sungai Tengah, Dunia Usaha, Media Massa serta masyarakat Hulu Sungai Tengah itu sendiri.

Bertempat di salah satu ruang PGSD FKIP Unlam Banjarmasin, telah hadir beberapa tokoh sentral warga Hulu Sungai Tengah yang peduli terhadap agenda aruh sastra ini bersilaturrahim, berbincang santai namun dari itu tercetus kata kunci terhadap kelancaran dan kesuksesan pelaksanaan agenda penting di Barabai tahun 2011 nanti yaitu Aruh Sastra Kalimantan Selatan VIII, kata kunci itu diucapkan oleh Bapak H. Akhmad Makkie,”Terpenting dari awal agenda aruh ini adalah komitmen,” kata beliau yang sekarang menjabat sebagai ketua MUI Kalsel kini tinggal di Banjarmasin. Beliau melanjutkan, “Komitmen yang paling ditunggu adalah dari pejabat yang ada di Barabai, terutama kepada Bapak Bupati Hulu Sungai Tengah, sebab dari komitmen inilah segala sesuatu dapat kita mulai melakukan semua agenda kegiatan aruh sastra itu.” Kami sepakat dan sepemikiran terhadap komitmen ini.

Setelah itu komitmen dari para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Hulu Sungai Tengah yang diharapkan sesegera mungkin memberikan respon positif, baik terhadap agenda aruh sastra itu sendiri dengan efek-efek positif yang diimbaskannya, serta kepastian posisi jalur pendanaannya. Dari keterangan Fahmi Wahid selaku pihak pengusul yang melakukan lobi, didapat kabar bahwa ada 2 kemungkinan pos pendanaan, yaitu 1) Pengelolaan, penggunaan serta pelaporan sepenuhnya berada pada pihak Dinas Pemuda Olah Raga, Kebudayaan dan Pariwisata, dan 2) Pengelolaan, penggunaan serta pelaporan sepenuhnya oleh Panitia Aruh Sastra yang bersifat hibah, walau posisi dana tetap berada dalam anggaran Dinas Pemuda Olah Raga, Kebudayaan dan Pariwisata. Pertanyaan besarnya adalah, “Sudikah kiranya pihak Dinas Pemuda Olah Raga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Hulu Sungai Tengah menghibahkan dana tersebut kepada pihak Panitia Aruh Sastra VIII yang penyusunan kepanitiaannya, program kegiatan, pembagian anggaran serta pelaporannya dilakukan oleh rekan-rekan seniman dan pegiat sastra yang mengerti duduk persoalan agenda aruh sastra itu sendiri. Bukan berarti menghilangkan ‘fungsi dan keterlibatan’ pihak Dinas Pemuda Olah Raga, Kebudayaan dan Pariwisata, terutama jajaran Kasi Kebudayaannya, tetapi dengan berlapang dada agar Dinas Pemuda Olah Raga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Hulu Sungai Tengah bukan pihak yang sepenuhnya menentukan atau bersikap dominan.

Komitmen yang mengarah pada berani bersikap ‘lapang dada’ dan tentu saja didasari oleh saling percaya itu akan membuka jalan ‘lancar dan sukses’. Tapi, pihak panitia pun harus pula melakukan langkah-langkah nyata, terbuka, sebab bila tidak, “Apa kata dunia, ternyata sama saja!!!”, Ini bukan hanya masalah proyek yang di tahun-tahun berikutnya tidak akan pernah ada lagi, tetapi kita berharap bahwa akan ada kelanjutan dari even aruh sastra ini, akan ada efek positif sejalan dengan peningkatan-peningkatan daya apresiasi masyarakat yang boleh jadi ‘dari imajinasi kreatif kepada capaian-capaian majunya teknologi’. Dari suara-suara yang sastrawi kepada puncak-puncak kesadaran hakiki.

Berkesempatan hadir pada sore itu, Minggu tanggal 26 Desember 2010, adalah Dr.. H. Rustam Effendi selaku fasilitator silaturrahim dan tokoh pendidik, tinggal di Banjarmasin. Drs. Syamsiar Seman tokoh budayawan Kalsel, tinggal di Banjarmasin. Drs. Mukhlis Maman ‘Julak Marau warung bubuhan’, tinggal di Banjarmasin. Fahmi Wahid selaku pegiat dan penggerak seni tinggal di Barabai yang akan terlibat jauh dalam kepanitiaan aruh serta Ketua Dewan Kesenian Murakata (HST), Arsyad Indradi lebih dikenal dengan ‘Si Penyair Gila’, tinggal di Banjarbaru. Bram Lesmana, tokoh teater dan pegiat seni kini tinggal di Banjarbaru dan Rantau. Dan saya sendiri (Ali Syamsudin Arsi) tinggal di Banjarbaru. Bagaimana warga di Barabai sendiri ?

Silaturrahim dan bincang-bincang itu sendiri memang mengarah kepada bentuk motivasi agar kegiatan aruh sastra di Barabai nanti berjalan lancar dan sukses. Kami sepakat bahwa kata ‘sukses’ itu lebih bertumpu kepada 3 tahap yang harus dijalani dengan skala prioritas pada tahap pasca aruh sastra itu sendiri. Mengapa pasca ?

Ada 3 tahap dalam agenda aruh sastra itu sebenarnya. Pertama tahap Pra-Aruh, kedua adalah Aruh itu sendiri, dan ketiga adalah Pasca-Aruh.

Pra-Aruh, berupaya membangun kesadaran bahwa Sastra itu sangatlah diperlukan dalam tatanan hidup manusia, dan Sastra sebagai satu unsur kesenian dalam pondasi berkebudayaan. Tentu saja ini memerlukan energi publikasi agar puncak-puncak sosialisasi dapat teratasi. Aruh itu sendiri, merupakan ajang atau tempat bertemu pemikiran-pemikiran cerdas dan cemerlang, membangkitkan gairah-gairah kreatifitas seraya membenahi dan menyusun kerangka budaya ke arah yang lebih baik sebagai puncak capaian. Pasca Aruh,prioritas utama ini adalah sejauh mana efek domino dari energi kreatifitas itu melebarkan sayapnya ke banyak penjuru, ke cikal-bakal pelaku budaya sebagai penerus, kedalaman-kedalaman penghayatan terhadap nilai-nilai budaya itu sendiri dengan implementasi yang nyata, konkrit dan berkesinambungan. Titik berat pada tahap pasca ini adalah dunia pendidikan, setelah itu tentu saja kegairahan berkreasi, berani mencipta, berani memulai dengan inovasi-inovasi walau terkadang memang harus berada jauh dari tempat duduk dalam zamannya sendiri, orang lain boleh saja mengatakan ini sebagai mimpi, tetapi mengapa masih banyak yang takut bermimpi. Mimpi dan kreatifitas boleh jadi saling mengisi. /asa, banjarbaru, 28 desember 2010



GURU DAN ARUH SASTRA


Oleh: Ali Syamsudin Arsi

Banyak siswa boleh saja setahun demi setahun berpindah kelas, berpindah sekolah, tetapi beberapa guru akan selalu setia sebagai penunggu ruang dan bilik di sebuah kelas, di sebuah sekolah.

Banyak buku, banyak kitab boleh saja memiliki bermacam-ragam isi dan penampilan sebagai bahan pembelajaran di banyak jenjang kelas, di pelbagai sekolah, tetapi pedoman yang telah digariskan adalah jalur utama yang akan disampaikan oleh guru kepada para siswanya.

Selain mata pelajaran bernama agama, tentu saja ada matematika, selain ilmu pengetahuan alam tentu ada pula ilmu pengetahuan sosial, begitu pula apabila ada pendidikan kewarga-negaraan maka ada pula pelajaran bahasanya. Tentu saja tidak akan melupakan kesegaran jasmani atau bidang olah-raga, tentu saja tidak akan meninggalkan betapa pentingnya keterampilan serta kesenian, dan sebagainya dan sebagainya. Semua mendapat tempat dan posisi yang sama, mendapat perhatian yang seimbang pula.

Secara normal, fokus capaian dalam pembelajaran untuk semua jenjang, untuk semua mata pelajaran atau bidang tersebut terletak pada “apa, siapa dan bagaimana gurunya berperan” dalam proses transformasi bahan ajar kepada siswanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa peran seorang guru adalah menjadi titik sentral dalam pendidikan di semua jenis kelas, di semua jenjang sekolah. Pendidikan dalam arti mikro karena ruang lingkup, waktu dan perhatian hanya sebatas jam-jam sekolah, atau hanya jam-jam pelajaran sesuai dengan jadwalnya masing-masing.

Barabai, pada masa-masa dahulu adalah daerah yang telah banyak menghasilkan lulusan yang berprofesi sebagai guru, karena pada waktu itu di sebuah lingkungan terdapat sekolah yang memang ditargetkan untuk memproses kader-kader para guru tersebut. Penyebaran para guru tersebut ternyata hampir merata ke seluruh wilayah Kalimantan Selatan, selain lulusan dari Banjarmasin serta kota-kota lainnya. Sebelum ada FKIP maka peranan SPG, KPG merupakan tumpuan dalam hal mencerdaskan anak-anak bangsa, anak-anak banua. Banua Lima, pada waktu itu, untuk urusan ‘mengabdikan diri sebagai guru’ maka akan memilih kota Barabai sebagai tujuan, selain Martapura di bidang agama, atau ke Banjarmasin.

Kembali kepada guru sebagai sentral dalam proses tranformasi bahan ajar kepada para siswa, dalam konteks akan dilaksanakannya agenda tahunan di Kalimantan Selatan yang bernama Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) di kota Barabai pada tahun 2011 ini maka keberadaan guru menjadi sangat penting. Peranan serta dedikasinya, perhatiannya, apresiasinya atau apa pun nama dan istilahnya, mau tidak mau keterlibatan guru akan sangat berdampak luas terhadap keberadaan, pertumbuhan serta perkembangan sastra di waktu-waktu yang akan datang.

Dari pelaksanaan aruh ini akan terlihat nyata bagaimana kita memperlakukan budaya dengan cara yang berbudaya itu. Bagi kalangan sastrawan, dana ratusan juta rupiah itu adalah jumlah yang ‘sangat besar’, dan sangat berharap bahwa manfaat dari penggunaan dana ‘sangat besar’ itu berdampak ‘sangat positif’ bagi sastra itu sendiri, bagi daerah tempat terselenggaranya aruh itu, bagi masyarakat sastra yang ada dan bergiat di daerah pelaksanaan aruh itu. Kalau posisi sastra di daerah tersebut masih dalam tatanan ‘memperkenalkan diri’, maka akan diupayakan proses ‘memperkenalkan sastra itu’ semaksimal mungkin, karena dampak dari ‘perkenalan’ itu akan sangat membuka gairah-gairah, potensi-potensi, cara-cara berpikir, semangat untuk maju, serta imbas-imbas positif lainnya. Diupayakan imbas-imbas positif ini bergerak ke segala bidang kehidupan, bukan hanya untuk bidang sastra saja. Sastra hanya pemicu, pendorong, motivator dengan segala kreasi dan inovasinya.

Guru harus sudah terlibat dalam rancangan besar, gagasan besar, ide-ide besar dan dengan ‘mimpi-mimpi besar’ pula. Guru dapat diajak mendekat dengan berbagai ragam lomba-lomba, pelatihan-pelatihan, pertemuan-pertemuan awal. Katakanlah akan terjadi seleksi secara alamiah, dari 100 mungkin yang benar-benar berminat, suka, sayang, tak ingin lepas dan selalu ‘bersastra’ (dengan segala macam kendala dan alasan masing-masing) misalnya hanya ada 20 guru yang benar-benar penuh perhatian, semangat demi keberadaan dan kemajuan sastra, maka yang 20 ini akan mampu membantu penuh perayaan aruh sastra di daerahnya, Barabai tentunya. Begitu pula dengan para siswanya, diajak mendekat. Apalagi kepada aktivis seni yang sudah ada di daerah tersebut tentu saja harus ambil bagian pada agenda ini. Memang tidak bisa serta-merta menjadi panitia inti semuanya, tetapi dengan adanya para penggembira yang bersiap-sedia membantu akan menjadi ringan dan ceria semua beban kerja. Missal, di bulan Februari telah ada agenda lomba baca puisi untuk guru dan atau siswa, bulan Maret guru dan siswa peserta lomba atau bagi yang berminat diberikan pelatihan-pelatihan (menulis atau membaca sastra dll) dengan program yang telah disusun, diseting sedemikian rupa. Bulan-bulan berikutnya adalah waktu untuk ikut serta dalam bentuk-bentuk penampilan, pergelaran, bahkan mereka juga akan mengikuti lomba penulisan untuk skala lebih luas, juga selalu dan selalu dimotivasi untuk mengirimkan sebanyak-banyaknya karya mereka ke berbagai media di seluruh penjuru tanah air. Atau ada deal dengan media lokal Kalsel agar karya-karya mereka dapat dimuat dan dibaca oleh masyarakat sastra di luar daerahnya sendiri. Banyak tema yang dapat diangkat kepermukaan dengan media tulis, dengan media sastra.

Aruh Sastra ini adalah bagian ajang silaturrahim para pegiat sastra dengan masyarakatnya. Sastrawan bertemu dan berbincang dengan guru serta murid-murid. Boleh jadi di ajang ini akan lebih membuka cakrawala, lebih bersiap-sedia menerima kritik yang biasanya hadir dalam bentuk dialog-dialog, cakapan-cakapan, obrolan-obrolan, atau badadapatan wan bapapandiran nang kaya kita di warung-warung subalah rumah kita jua. Aruh Sastra itu sendiri tentu harus memberikan kesan bahwa semua berjalan dengan baik sesuai dengan perencanaan, tamu yang datang dilayani dengan baik, panitia bersikap dan berbuat sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. Tempat atau lokasi serta suasana silaturrahim terjaga dan mendatangkan kepuasan bagi tuan rumah serta bagi tamu yang sudah jauh-jauh tempat datang bertandang, datang berkunjung. Aruh Sastra hanya dilaksanakan 3 (tiga) hari, apakah setelah itu selesai? Dengan tegas, jawabnya Tidak. Itu belum selesai. Karena yang paling pokok dalam pelaksanaan itu adalah, “Apa yang dapat terjadi setelah para tamu itu pulang ke daerahnya masing-masing?”

Bila Aruh Sastra di Barabai telah dilaksanakan pada tahun 2011 ini maka bagaimana gelora itu grafik ‘bersastra’-nya meningkat di tahun-tahun berikutnya dan begitu untuk seterusnya. Gelora itu boleh jadi secara jumlah atau meningkat secara mutu, secara kuantitas ataupun kualitasnya. Perhatian pihak-pihak terkait, Pemkab HST utamanya maupun aktivitas pelaku-pelaku sastranya, tetap terjaga dan menampilkan dirinya dengan sejumlah karya. Sastrawan wajib memiliki karya sastranya, di luar itu maka, “Akh, tak ada artinya”. Hampa udara.

Nah, peran guru (yang ada di Barabai utamanya) harus ambil posisi sebagai ‘penjaga’ keberlangsungan sastra bersama para sastrawannya sendiri. Bila tidak maka siapa lagi yang akan mampu menjembatani perjalanan panjang dari gagasan-gagasan besar, ide-ide besar, pikiran-pikiran besar yang kreatif dan inovatif tertanam, tumbuh, berkembang di benak anak-anak bangsa, anak-anak generasi ke generasi berikutnya. Capaian puncaknya boleh jadi terwujud ketika para guru itu duduk tenang sebagai penonton di luar arena. Sungguh pemandangan yang mengharukan, yang mendamaikan dan bahagia tentu saja. (Ideal memang, tetapi ini adalah bagian dari citra identitas dan kearifan lokal yang patut disuarakan, karena sastra juga berfungsi sebagai titik pertahanan mental dari derasnya serbuan budaya-budaya dari luar). Di dadaku ada kebanggaan untuk daerahku sendiri.

Berharap agar ASKS membuka peluang kepada potensi-potensi yang ada, yang belum terlihat akan dibaca keberadaannya. Potensi kepariwisataan, potensi-potensi budaya, dan ‘fungsi keterbacaan’ itu akan berdampak kepada kemajuan. Ingatkah kita pada keterpurukan Jepang saat kedua bom dijatuhkan, tetapi hal yang pertama dihimpun untuk membangkitkan semangat kemajuan bangsanya adalah guru. Ini pilar. Kita tentu saja tidak ingin menyaksikan keterpurukan sastra, tidak ingin mengalami keterpurukan budaya.

Jalan-jalan ke Barabai
Jangan lupa membeli apam
Panitia Aruh Sastra janganlah lalai
Supaya jalan semua program


/asa, banjarbaru 11 januari 2011


Safari Sastra di Barabai


Oleh: Ali Syamsudin Arsi

Memberdayakan para sastrawan dalam sebuah agenda adalah sesuatu yang wajar dan memang pada tempatnya untuk dilakukan.

Di setiap kota atau tempat-tempat tertentu, di Kalimantan Selatan mempunyai tokoh-tokoh sastrawannya masing-masing, dan itu hampir merata. Di Kotabaru ada sastrawan H.M.Sulaiman Najam, Eko Suryadi WS, di Tanah Bumbu ada Andi Jamaludin Ar Ak, Abdul Karim ‘Oka Miharja’, di Pelaihari ada Jamal T Suryanata, di Martapura ada Abdurrahman El-Husaini, Fitran Salam, Arya di Banjarbaru ada Arsyad Indradi, Hamami Adaby, Eza Thabry Husano, Arifin Noor Hasby, Harie Insani Putra, Isuur Loeweng, Rahmatiah, Zurriyati ‘Sysy’ Rosydah, M. Nahdiansyah Abdi, di Banjarmasin ada Micky Hidayat, YS Agus Suseno, Tajuddin Noor Ganie, Tarman Effendi Tarsyad, Maman S. Tawie, Rosidi Aryadi Saleh, H.Adjim Arijadi, Syamsiar Seman, Abdus Syukur MH, Rudi Karno, Zulfaisal Putra, Hajriansyah, Hamberan, di Marabahan ada Ibramsyah Amandit, Rock Syamsuri, Sarkian Noor Hadie, Aspihan N. Hidin, di Rantau ada Antung Kusairi, Bram Lesmana, di Kandangan ada Burhanuddin Soebly, Aliman Syahrani, M. Fuad Rahman, M. Radi, di Barabai ada Fahmi Wahid, Taberi Lipani SR, di Amuntai ada Fahrurraji‘Abkar Raji’ Asmuni, Hasby Salim, Sudarni, Harun Al Rasyid, di Tanjung ada Tajuddin A. Bacco, Lilies MS, Jauhari Effendi, Jaka Mustika. Masih banyak lagi yang lain bila dituliskan seluruhnya, tetapi paling tidak mereka itu sudah dapat mewakili daerahnya masing-masing.

Saya sarankan, ada satu mata acara pada Aruh Sastra VIII di Barabai yang akan datang itu, para sastrawan yang hadir sebagai undangan dimobilisasi untuk dapat masuk ke sekolah-sekolah yang ada di seluruh wilayah HST (paling tidak di dalam kota Barabai). Katakanlah satu sekolah dihadirkan 5 sampai 10 sastrawan. Kalau ada 100 sastrawan yang hadir maka ada 10 atau 20 sekolah yang dikunjungi. Bila pelaksanaan aruh itu hari Jumat sampai Minggu, maka katakanlah pada hari Sabtu pagi pukul 09.30 sampai 10.30 para sastrawan yang sudah dibagi oleh panitia langsung berangkat atau dijemput oleh pihak sekolah masing-masing. Selama waktu yang disediakan itu pihak sekolah boleh jadi diperkenankan untuk melaksanakan sesuai dengan keinginan sekolah, atau paling tidak mempertemukan para sastrawan itu secara missal ‘bertatap muka, berdialog, berdiskusi, mengadakan tampilan-tampilan atau apa saja’ kepada para siswa dan tentu saja kepada para guru seluruhnya. Adopsi agenda seperti ini pernah dilakukan oleh jajaran Majalah Horison beberapa waktu yang lewat, dan kita terapkan dalam skala kecil serta waktu yang disesuaikan dengan jadwal aruh secara keseluruhan.

Pada agenda seperti di atas sangat jelas bahwa para sastrawan bukan datang untuk menyaksikan, tetapi kehadirannya ditunggu oleh para siswa, oleh para guru, oleh para kepala sekolah. Mobilisasi ini akan lebih efektif dan langsung dirasakan karena saya yakin bahwa ‘tuan rumah yang dikunjungi oleh para tamu (sastrawan) akan mempersiapkan segala sesuatu agar semua pihak merasa nyaman, lancar dan saling memberikan manfaat’. Honor dari panitia kepada setiap sastrawan, misalnya seratus ribu rupiah, apalagi nanti pihak sekolah menyiapkan anggaran tersendiri. Tentu saja koordinasi seperti ini tidaklah mudah, tetapi bila dipersiapkan sejak dini dan komitmen bahwa ini bagian dari mata rantai perjalanan proses pendidikan maka akan menemui kemudahan. Para sastrawan datang ke arena aruh sastra menjadi berfungsi dan bermakna, tentu dengan membawa kesan masing-masing. Panitia tentu mempersiapkan agenda ini dengan kata kuncinya pada akurasi koordinasi yang tinggi, energi yang besar akan dibagi kepada setiap sekolah yang menerima kedatangan para sastrawan tersebut. Dan itu harus dimulai sejak sekarang. Tidak dapat menunggu, pihak panitia adalah yang memegang inisiatif pertama agar mampu disambut dengan suka-cita oleh sekolah-sekolah. Koordinasi yang bersifat kemitraan ada pada Dinas Pendidikan sebagai tawaran agenda, setelah itu menentukan bersama langkah-langkah berikutnya. Pertanyaannya, “Bersediakah pihak Dinas Pendidikan membukakan pintu untuk kemitraan semacam ini?” Bila pihak Dinas Pendidikan telah bersedia dan melapangkan jalan dengan tidak lupa ‘menugaskan orang-orangnya’, maka pertanyaan berikutnya adalah, “Sebesar apa keseriusan pihak sekolah-sekolah mempersiapkan dirinya, siswanya, guru-gurunya, kepala sekolahnya untuk menerima, merencanakan agenda, agar anjang sana para sastrawan itu termanfaatkan secara maksimal dalam waktu yang sangat terbatas, mungkin hanya berkisar 1 sampai 2 jam saja?” Tentu saja pihak sekolah dapat bernegosiasi kepada pihak panitia tentang materi dan segala sesuatu, tetapi untuk meringankan kerja panitia aruh maka alangkah eloknya pihak sekolah membentuk sendiri panitia kecil dalam lingkupnya masing-masing. Ini masalah seting acara, bahkan sampai kepada masalah mobilisasi para sastrawan, dari satu tempat lalu menyebarkannya, pihak sekolah dapat saja menyiapkan sendiri alat transfortasi masing-masing, tetapi diupayakan waktu atau dalam jam yang sama dan kembali pada waktu yang sesuai dengan penjadwalannya.

Bila agenda ini dapat dilaksanakan maka akan sangat besar manfaat yang didapat, sastrawan akan melihat dan merasakan langsung bahwa ‘benar kemitraan serta koordinasi’ itu ada. Sekarang, “Apakah pihak panitia akan bersedia melaksanakan agenda ini dengan serius atau akan ada alasan-alasan yang sebenarnya hanya ingin melepaskan diri yang disebabkan oleh kekakuan-kekakuan dalam kepanitiaan saja, misalnya dengan mengemukakan bahwa, “Wah, kami harus sesuai dengan yang namanya ‘juklak’ itu saja, kami tidak dapat lagi melaksanakan yang di luar dari yang sudah tertulis dalam berkas-berkas permohonan.” Dan bla bla bla bla, wuuuhhh, sangat disayangkan. Bermitra, tentu saja bukan kerja yang dilakukan sendirian.

Pada satu bagian, agenda yang lain adalah penetapan undangan kepada para guru dan siswa plus kepala sekolah dengan undangan langsung agar dapat menghadiri seminar utama yang biasanya menghadirkan pembicara dari luar Kalsel. Undangan pada agenda ini harus melibatkan Dinas Pendidikan dan sewajarnyalah Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Hulu Sungai Tengah mendapat waktu untuk bicara, entah pada mata acara ‘kata sambutan’ atau ada sesi ‘pemandangan umum’. Teknis semacam ini akan memberikan efek mendalam dan tidak akan mengurangi ‘suasana sastra’ itu sendiri.

/asa, banjarbaru desember 2010



MENYIMAK SUARA DARI BARIKIN DAN KOTABARU


Oleh: Ali Syamsudin Arsi

Tiba-tiba saja saya tersentak dan seluruh persendian merespon cepat. Gendang telinga saya berdengung hebat. Saya mencoba menetralisir kondisi sesegera mungkin. Pelan dan pasti. Konsentrasi memulihkan situasi yang terjadi. Ada yang harus segera diuraikan.

Respon pertama saya dingin-dingin saja terhadap kabar bahwa Kabupaten Hulu Sungai Tengah ‘sangat siap’ menjadi tuan rumah agenda Aruh Sastra Kalimantan (Selatan), ASK yang rencananya akan dilaksanakan tahun 2011 nanti. Pernyataan itu dikemukakan oleh Bapak Muhammad Yusuf, Kepala Disporabudpar Kabupaten HST ketika memberikan respon positif terhadap suksesnya Teater Mamang yang saya tahu dikomandani oleh seorang Sastrawan Barabai, yaitu H. Fahmi Wahid, di ajang Festival Teater Modern beberapa waktu yang lewat. Pernyataan seperti itu juga saya simak ketika berada di Marabahan ketika ada diskusi kecil nonformal bersama rombongan aruh sastra dari Tanjung yang ternyata dalam perjalanannya banyak sekali tidak sesuai dengan kenyataan. Yang lebih saya tekankan adalah adanya kosa kata “siap” dalam pernyataan itu. Sebagai seorang yang memang bekerja sebagai ‘pengotak-atik kata-kata dengan segala macam perangkat lunak dan perangkat kerasnya’ maka kata “siap” itu harus mengalami berbagai tes uji kemungkinan, berbagai tes uji pemaknaan, tes uji penafsiran, tes uji kebenaran secara teori atau secara praktek pelaksanaannya. Orang lain boleh saja mengatakan dengan mudah vulgar dan terbuka bahwa kata “siap” yang dimaksud adalah “akan menjadi sukses”, tetapi sebenarnya kandungan kata itu, berdasarkan pengalaman pelaksanaan agenda Aruh Sastra Kalimantan Selatan di beberapa kota kabupaten adalah masih jauh dari yang diharapkan.’Siap’ untuk melaksanakan sesuai kehendak kami sendiri.”Siap” untuk melaksanakan apa adanya yang penting terlaksana dan persoalan capaian itu urusan yang ke sekian ratus. ‘Siap’ untuk melaporkan berapa pun besaran biayanya yang penting diterima dan tidak ada gugatan apa pun juga bentuknya. ‘Siap’ untuk tidak bekerja sama dengan pihak lain karena ini anggaran ada pada ‘kekuasaan kami’. Dan banyak lagi tafsiran kata “siap” yang berkonotasi negative karena memang membuka peluang ke arah itu. Tentu saja yang diharapkan adalah sesuatu yang ke arah positif.

Aruh Sastra VI di Marabahan menyisakan ‘luka dalam dan sangat tidak menyenangkan’. Ini terjadi karena kemitraan dan koordinasi itu tidak sesuai dengan yang dicanangkan, yang telah disepakati sebelumnya. Kemitraan antara Disporabudpar pada waktu itu dengan pihak Dewan Kesenian Barito Kuala berjalan tidak seiring dan sangat tidak sejalan. Puncak ketidak harmonisan itu ternyata semakin muncul ke permukaan ketika pada tanggal dan hari yang sama di Banjarmasin diadakan agenda yang sama dengan tulisan spanduk berbeda kalimatnya. Persoalan ini masih dalam tanda tanya besar, Ada apa sebenarnya. Saya sangat berharap agar pelaksanaan Aruh Sastra di Barabai tidak terjadi dengan cara mengantisipasi terlebih dahulu. Antisipasi yang paling mendasar adalah membuka pintu kemitraan dan koordinasi ke berbagai pihak, ya sekali lagi ‘ke berbagai pihak’, artinya bukan hanya ‘ke satu pihak’. Apabila kemitraan ini berjalan maka akan terhindar dari adanya ‘praktek-praktek yang tidak kita kehendaki semua. Hal itu ternyata dapat saya temukan karena ada suara dari Barikin yang teramat memilukan, betapa tidak ketika acara rutin yang diadakan setiap tahun pada perayaan Hari Jadi Kabupaten Hulu Sungai Tengah sangat terasa bahwa kelompok atau kampong seniman tradisional tidak dilibatkan sama sekali. Ini sebuah bukti bahwa kata “siap’ itu untuk apa, siapa, dan kemana arahnya. Saya menikmati kata ‘Barikin’ sebagaimana saya menyaksikan betapa kuatnya lenting-lenting suara dari senar musik panting, wayang kulit, tari topeng, wayang gung. Mereka bukan hanya sekedar bermain tetapi mereka sangat memahami dan tetap dalam posisi mempertahankan tradisi. Posisi mereka memang antara dua kekuatan, berada antara derasnya seni-seni pop dan hiruk pikuk modernisasi. Padahal daya dan energi, tenaga, pikiran akan selalu memperhatikan keberadaannya, pertumbuhannya, perkembangannya, pelestariannya adalah juga berada pada pundak Pemerintah Kabupaten yang secara jelas dan nyata berada di telapak tangan Disporabudpar Kabupaten HST. Apa yang sedang terjadi di sana ? menyimak sebuah kata “Barikin” adalah sebuah upaya pembelajaran ‘mempertahankan tradisi’ yang telah berurat-berakar. Begitu kuat, begitu kokoh. Dan itu sebagai aset penting dari sikap memperlakukan budaya dengan cara yang berbudaya. Kesenian bagi mereka bukan lipstick belaka, kesenian bagi mereka bukan polesan belaka, tetapi napas hidup yang berjalan antara tubuh dengan bayang-bayang, satu kesatuan yang tak terlepaskan. Saya pun menjadi tiris karenanya. Lalu bagaimana jadinya agenda Aruh Sastra yang notabene dapat dihitung kurang dari 10 jari para tokoh-tokoh sastrawannya, para pegiatnya, sastrawannya. Akh, perhatian apa yang harus menjawab ketika kata “siap” itu menjadi bertolak belakang dengan yang diharapkan. Sungguh tiris perasaan. Tapi tentu saja saya pun yakin bahwa hal seperti itu tidak akan memupuskan langkah mereka untuk berkesenian, itu hanya riak kecil yang akan cepat berlalu. Hanya saja, hal seperti ini jangan sampai berulang dan selalu berulang, adalah sebuah cermin bahwa lemahnya perencanaan dari sebuah instansi yang jelas-jelas bagian dari urusannya. Semakin kuat pemahaman kepada,”Jangan serahkan urusan kepada yang bukan ahlinya.”

Ketirisan ini berbalik arah ketika ada suara lain yang masuk dalam simak-telinga saya. Semalam di Kotabaru,adalah sebuah penanda bahwa gerak-langkah, komitmen-sikap nyata telah terbentuk. Bentuk-bentuk apresiasi seperti ini tidak hanya mereka lakukan sesekali ini saja, sudah sejak lama tradisi menghargai keberadaan serta kebernilaian sebuah karya seni menjadi bagian penting dalam arena perayaan yang bersinergi dengan perayaan lainnya. Tahun 1998, saya pertama kali meraih juara 1 dalam penulisan karya sastra berupa puisi. Lomba ini dilaksanakan oleh Departemen Sosial Provinsi Kalimantan Selatan. Tahun 1999 pihak Dewan Kesenian Kotabaru, waktu itu nahkoda kapalnya abang Eko Suryadi WS, merespon capaian itu dan saya pun mendapat tempat dalam jajaran ‘mereka yang menerima penghargaan’. Memang bukan hal yang utama bagi seorang penulis, bagi seorang sastrawan, bagi seorang penyair, kepada yang bernama penghargaan dalam bentuk seremonial itu, tetapi dengan adanya agenda itu maka betapa besar motivasi yang didapat. Saya sangat yakin dan percaya dengan apa yang dikatakan beliau pada malam penganugerahan itu bahwa ‘ayahnda’ H.Anang Ardiansyah pada saat penciptaan lagu monumental Paris Barantai itu, saat di mana irama, nada, tempo, syair yang tercipta serta suasana hati beliau, suasana sekat-sekat tubuh beliau, ada semacam ‘mengharapkan’ terjadi seperti yang oleh segenap warga Kotabaru memberikan ‘kado indah’ di penghujung tahun dari perjalanan panjang beliau dengan segala liuk-liuk, dengan segala pernik-pernik kehidupan. Tidak pernah mengharapkan. Pun begitu dengan sang pencipta lagu Halin, abang Syukri Munas yang telah tiada.

Bagaimana dengan daerah-daerah lain? Dalam hal ini yang segera mengambil sikap adalah para penentu kebijakan dari unsur pengusulan sampai upaya rembuk dan paparan-paparan, diskusi-diskusi yang pada akhirnya bersikap sama untuk ‘ketok palu memutuskan dan menetapkan’. Jumlah nilai besaran angka tentu saja boleh menjadi tidak sama, tetapi motivasi sebagai energi dari dalam dan bersikap nyata adalah bagian dari terus mengalirnya dayacipta-dayacipta tak ternlai di waktu-waktu yang akan dating. Dan hal semacam ini sangatlah penting untuk disuarakan, diumumkan sampai ke sudut-sudut pojok ruang sekolah, ke ujung-ujung belakang bangku kelas para siswa, tentu dengan melakukan penyimakan-penyimakan mendalam dan penuh penghayatan yang dilakukan oleh para guru agar proses pembelajaran tidak tertinggal oleh bahan ajar yang ada di sekitar lingkungan sendiri, agar kandungan lokalitas itu bukan datang dari setumpuk buku yang ditulis oleh pihak luar diri kita sendiri yang secara otomatis materi di dalamnya pun sama sekali tidak bersentuhan dengan akar budaya kita sendiri.

Akankah ada hal-hal yang memberikan isyarat kepada rasa gamang itu atau bahkan ada sinyal-sinyal pencerahan ketika Aruh Sastra Kalimantan Selatan VIII digelar di kota Barabai nanti (?). Sebenarnya ini, … akh !!!

/asa, banjarbaru awal tahun 2011




BUKU TIDAK GERATIS ( Jelang agenda Aruh Sastra VIII di Barabai tahun 2011 )


Oleh: Ali Syamsudin Arsi

Menulis memang upaya mencerdaskan, tetapi penghargaan terhadap karya tulis masih perlu ditingkatkan. Harga sebuah buku boleh jadi tidak sebanding dengan manfaat ilmu yang terkandung di dalamnya. Buku-buku fiksi, buku-buku non fiksi begitu banyak bertumpuk berjejal bahkan betapa penuh rak-rak buku yang terpajang rapi atau betapa berseraknya buku-buku itu, di sebuah kamar sempit di ruang-ruang khusus membaca di pojok-pojok bilik, semua itu memerlukan perlakuan agar kandungan dari susunan hurup kata-kata kalimat-kalimat dengan ide-ide cerdasnya gagasan-gagasan cemerlangnya, buku seakan mengatakan bahwa ‘betapa kecilnya dunia ini karena ilmu’, walau kita tahu masih banyak penguraian unsur-unsur dalam ilmu itu yang tak menemukan ketuntasannya. Ketidak-tuntasan itu adalah bagian panjang dari mata-rantai pengetahuan. Simpulan dari sebuah penelitian yang satu boleh jadi meruntuhkan simpulan teori sebelumnya Sikap yang positif terhadap sebuah buku memang harus masih diletakkan pada posisi yang sewajarnya, bila bangsa ini ingin maju, cerdas dan berwawasan. Begitu pula dengan maraknya kehadiran buku-buku fiksi, buku-buku kumpulan puisi, kumpulan cerpen dan sebagainya. Dalam setiap agenda Aruh Sastra, selalu saja diupayakan penerbitan buku-buku itu, sejak pelaksanaan di Kandangan, sebagai cikal-bakal agenda akbar tersebut, sampai pada kegiatan aruh sastra yang dilaksanakan di kota Tanjung pada tahun 2010 ini. Sungguh sebuah kabar yang sangat menggembirakan. Hal yang menarik untuk dicermati adalah semakin ‘meriahnya’ penjualan buku-buku yang digelar pada saat berlangsungnya agenda aruh itu. Saya melihat sejak di Pagatan telah ada upaya penjualan buku-buku (terutama buku-buku sastra) walau dalam jumlah sedikit, lalu berlanjut di Kotabaru. Di Amuntai bahkan sempat terlihat 3 lokasi (lapak) penjualan, di Paringin ada 2 lapak, di Marabahan ada 2 lapak, di Tanjung ada 3 lapak. Biasanya ada Bapak Samsiar Seman yang secara khusus menawarkan buku-buku bernuansa tradisional Banjar dan ini perlu dilanjutkan, lalu ada Isuur Loeweng cs, juga ada Hajriansyah cs dengan produk dari Tahura Media, kemudian saya sendiri dengan sedikit buku ikut meramaikan ‘kemeriahan itu’.

Sampai saat ini lihatlah di setiap perpustakaan yang ada di dalam wilayah Kalimantan Selatan, berapa buah buku yang penulisnya merupakan ‘anak banua’, boleh jadi buku-buku itu ditulis oleh orang-orang dari luar. Sudah saatnya aktifitas menulis itu digiatkan dan dipompa daya ciptanya. Sudah saatnya rak-rak buku yang ada merupakan tempat bertengger, memajang nama-nama penulis ‘orang-orang kita sendiri’. Upaya untuk menggairahkan semangat kemeriahan itu harus ada dari semua sisi yang memang memungkinkan, pemerintah, masyarakat swasta, para pendidik, mahasiswa, pelajar dan siswa, pegiat pecinta buku, anak-anak pembaca mania, penulis, penyair dan sastrawan,bahkan dosen. Sayang bila ketika kita memasuki toko-toko buku yang terpampang nama-nama penulisnya melulu ‘orang asing’ dari diri kita sendiri. Upaya ini harus digalakkan, harus ada kerja keras agar kemeriahan dan gairah mencerdaskan itu benar-benar terwujud secara nyata. Kegairahan ini tentu saja wajib dikabarkan, boleh jadi selama ini lebih banyak buku-buku yang berupa kumpulan puisi walau dalam jumlah yang amat sangat sedikit sekali, tetapi kegairahan ini juga diharapkan kepada para penulis di ranah bidang ilmu yang lain, karena ini akan berdampak kepada kegairahan aktifitas lain, penelitian misalnya. Peran media massa juga sangatlah diharapkan dapat memberikan ruang seluas-luasnya untuk itu, terutama surat kabar, majalah, tabloid yang beredar di wilayah kita sendiri. Lomba-lomba penulisan harus pula lebih gencar dilakukan. Bila kita fokus kepada upaya ‘mencerdaskan anak banua’ maka tidak bisa lain selain melalui upaya-upaya yang tidak lepas dari aktifitas ‘membaca dan menulis’. Budaya lisan, budaya bapandiran, budaya orasi, budaya bakesah yang sudah berkembang terlebih dahulu pada masyarakat kita adalah lebih cerdas bila didasari oleh data-data yang terlebih dahulu harus diambil dan diserap dari teks-teks buku yang akurat. Jadi ada landasan teori serta dalil-dalil yang dapat dipertanggung-jawabkan, bukan berdasarkan ‘ilmu dadangaran’ yang kadangkala sangat kurang bernilai.

Pada waktu memasarkan buku-buku di kota Tanjung saat peristiwa Aruh Sastra VII, saya teringat betapa ‘menghargainya’ panitia Temu Sastrawan Indonesia 3 (TSI 3) di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, pada bulan Oktober tahun 2010 yang lalu. Panitia TSI 3 telah memuat 1 puisi saya (Banjarbaru) yang berjudul Burung-Burung Murdjani. Puisi itu dimuat dalam buku berjudul Percakapan Lingua Franca. Dari Kalimantan Selatan selain saya ada pula Bang Eko Suryadi WS (Kotabaru) dengan menampilkan 2 puisi yang berjudul (1) Di Langit Kota Ada Menara, (2) Fenomena; Saudara Hajriansyah (Banjarmasin) menapilkan 3 puisi yaitu, (1) Tentang Badan dan Kepergian, (2) Tentang Dirimu,dan (3) Tentang Kehilangan; terakhir adalah Dangsanak Sandi Firly (Martapura) yang menampilkan 2 puisi dengan judul (1) Sajak Sebatang Pohon Karet, (2) Yang Bertahan dan Melawan.

Istimewa.

Yang istimewa adalah panitia memberikan honor atas pemuatan puisi tersebut kepada para penulisnya. Teristimewa lagi yang saya alami langsung adalah, walau saya tidak dapat berhadir ke Tanjungpinang tetapi oleh panitia dana honor itu ditransfer ke nomor rekening yang saya kirimkan, sebuah sikap ‘menghargai yang patut ditiru’ agar ke depan terutama untuk Barabai. Semisal setiap penulis yang karyanya (puisi atau cerpen) dimuat ke dalam buku kumpulan puisi Aruh Sastra mendapatkan honor sewajarnya, bagaimana bila kisaran nominalnya Rp. 100.000,- sampai dengan Rp. 250.000,- tentu saja disesuaikan dengan jumlah dana yang tersedia. Boleh saja berdasarkan jumlah karya yang dimuat atau disama-ratakan saja. Ini ‘bentuk apresiasi nyata karena karya penulisnya dihargai secara positif dan bernilai’. Semoga saja. Kemudian oplah buku yang diterbitkan oleh panitia pun dipastikan dalam jumlah yang banyak, karena akan didistribusikan ke setiap jajaran semua dinas di Pemkab HST, semisal setiap dinas dijatah 100 eksemplar. Itu tidak digratiskan tetapi dinas akan memberikan pembayaran selayaknya pembelian buku walau boleh jadi memberlakukan diskon sewajarnya.

Aruh Sastra VIII di Barabai, adakah komitmen jelas dari instansi terkaitnya?

Komitmen para petinggi pemerintahan sangatlah ditunggu, diharap mereka terlibat masuk dan meleburkan diri pada ajang ini dengan formasi serta kekentalan nuansa sastra yang hadir dapat dirasakan, sederhana, bersahaja, apa adanya. Mampukah panitia menghadirkan bapak Bupati HST sebagai salah satu narasumber dalam suasana seminar atau minimal di ajang khusus, ada tanya jawab tentang pertumbuhan sastra, tentang perkembangan sastra,tentang kebijakan-kebijakan yang berkaitan sastra, serta tentang harapan-harapan bersama misalnya, dalam durasi yang cukup, bukan sekedar, sepintas, sekilas, lalu lenyap berlalu begitu saja. Kepala dinas kebudayaan pun sudah sewajarnya tampil ke depan, tidak perlu bersikap ‘diwakilkan saja’, Masyarakat Barabai (HST) adalah masyarakat yang hidup penuh dengan keramahan, kesederhanaan dan bersahaja, maka kita tampilkan itu dalam suasana aruh sastra.

Komitmen dari semua unsur kepanitiaan pun harus pula benar-benar memahami maksud dan tujuan kegiatan aruh dimaksud. Bila tidak terbuka dalam hal pendanaan serta biaya pelaksanaan kepada semua anggotanya maka akan memberikan dampak kerja yang sangat merugikan. Terutama mereka yang pegang kendali keuangan, boleh jadi ketuanya, boleh jadi bendaharanya, boleh jadi para ketua bidang di masing-masing pos tugasnya. Apabila masih ada yang berkilah bahwa dananya kurang, dananya lambat cairnya, dananya entah di mana, maka itu akan beralamat kekacauan dan aruh sendiri menerima dampak yang tidak nyaman, sehingga wajarlah bila aruh itu akhirnya menjadi sepi.

Kabar yang sangat menggembirakan adalah pada saat agenda Temu Sastrawan Indonesia 3 di Tanjungpinang, ternyata Bupatinya benar-benar lebur dalam sepenuh acara, kabar gembira itu tentu saja berjalan lurus dengan pemandangan yang terjadi di daerah kita sebagai harapan. (akh, semoga tidak berlebihan harapan ini). Aruh Sastra VIII di Barabai nanti, bukan suasana yang formal, kaku dan ‘tidak puitis’ he he.









MENCIPTAKAN SASTRA SEBAGAI DAYA PIKAT


Oleh: Ali Syamsudin Arsi

Ternyata agenda sastra di Kalimantan Selatan sebagai Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) telah membuka perhatian beberapa rekan sastrawan yang berada di luar Kalsel, seperti rekan Jumari HS (Kudus), Dimas Arika Mihardja (Dr. Sudaryono, M.Pd, Jambi), Shanti Ned (Samarinda), Hassan Al-Banna (Sumut), Yvone de Fretes (Jakarta), Shobir (Tangerang Selatan), Diah Hadaning (Depok).

Tentu saja hadirnya perhatian rekan-rekan sastrawan itu sedikit-banyaknya ada imbas dari beberapa faktor yang mampu dibaca oleh mereka. Boleh jadi karena beberapa tokoh sastra di luar Kalsel selalu diupayakan untuk hadir sebagai narasumber dalam setiap pelaksanaan ASKS. Di Kandangan (ASKS I) menghadirkan sastrawan kondang/penyair serta da’i potensial D. Zawawi Imron, di Kotabaru (ASKS III) menghadirkan D. Zawawi Imron bersama Sutardji Calzoum Bachri, di Amuntai (ASKS IV) menghadirkan Korry Layun Rampan, di Paringin (ASKS V) menghadirkan Maman S. Mahayana, di Marabahan (ASKS VI) menghadirkan Abdul Hadi WM, di Tanjung (ASKS VII) menghadirkan Raudal Tanjung Banua. Mereka yang telah datang memenuhi keinginan panitia sebagai narasumber itu adalah para penulis handal yang telah malang-melintang di dunia sastra dan tidak hanya dipandang secara ‘keindonesiaan’ saja tetapi di mata dunia mereka menjadi figur penting dan sangat konsisten di bidangnya. Mereka telah menjadi bagian dari ‘sastra dunia’.

Di Indonesia, dari ujung atas Barat Sumatera sampai paling ujung kulon pulau Jawa, kemudian menyisir pantai-pantai pulau Dewata Bali, Lombok terus meniti di kepulauan Ambon, bahkan sampai bagian Papua dan melingkar berbalik arah ke Ternate, Sulawesi dan bertahan di Kalimantan, banyak sekali nama-nama tokoh sastra yang akan menampakkan jejak ‘keluar-biasaan’-nya. Ya, mereka adalah orang-orang yang luar biasa dalam bidang sastra.

Tidak lepas daripada itu, dari beberapa tahun terakhir ini, beberapa orang Kalimantan Selatan sendiri telah menghadiri bentuk-bentuk perayaan sastra di pulau Jawa dan pulau Sumatera. Micky Hidayat, YS Agus Suseno, Sandi Firly, Hajriansyah, Jamal TS, Zulfaisal Putera, Harie Insani Putra, Isuur Loeweng, Eko Suryadi WS, M. Rifani Djamhari (alm), Karim ‘Oka Mihardja’, Arsyad Indradi, Arra, Maman S. Tawie, Hudan Nur, Sainul Hermawan serta tokoh budaya Syarifuddin R, bahkan ada pula generasi di bawah mereka seperti Mus’ab, Reza, dan Zurriyati ‘Sysy’ Rosyidah. (hehe, saya juga=penulis). Dan bila disibak jauh ke belakang maka akan semakin panjang daftar nama-nama itu. Ada pula yang tidak terpantau tetapi mereka menghadiri agenda-agenda sastra di luar Kalsel. Ini tentu saja sangat menggairahkan dan menjadi bukti bahwa sastra mampu sebagai ‘daya pikat’ walau tidak sedikit keberangkatan mereka itu dengan dana atau biaya seadanya karena secara umum sastrawan atau penyair yang ada di Kalsel ini tergolong ‘manusia berekonomi pas-pasan’ bahkan banyak yang berada di bawah garis hidup ‘ekonomi lemah’. Mereka berangkat tentu saja secara umum membawa nama Kalsel di ajang agenda sastra tersebut. Sangat disayangkan bila masih banyak di dalam masyarakat kita yang tidak mempedulikan keberadaan sastra dengan segala macam ragam aspek di dalamnya. Mengapresiasi karya sastra adalah juga mengapresiasi pengarang karya sastra tersebut. Proses kreatif mereka pun perlu pula diketahui, bagaimana perjalanan sebuah karya sehingga dapat disuguhkan kepada para pembacanya atau penikmatnya. Ragam-jenis karya itu memang banyak, dan yang paling penting dalam perayaan ASKS VIII di Barabai atau di kota-kota beikutnya adalah ‘semaksimal mungkin menggali potensi ‘kesastraan’ yang ada di tanah banua, agar terangkat ke permukaan dan mampu menampilkan dirinya di layar lebar ‘sastra dunia’ sehingga dapat dibaca lebih lebar, meluas dan menjadi tahu apa saja yang ada di ‘banua Kalimantan Selatan’ ini. Salah satu contoh ketika tercetus untuk memajang “Bumi Banjar Bumi Bersyair” yang tercetus saat perayaan ASKS VI di Marabahan, kemudian dengan ‘daya provokasi gaya sastra’ maka di Tanjung dikuatkan pula terapan Basyair itu ke dalam ajang lomba.

Di Barabai, bila memang dilaksanakan dengan persiapan yang sangat memperhitungkan sampai kepada hal-hal sekecil apapun, maka diyakini bahwa akan ada hal-hal yang menarik dan mampu berperan sebagai daya pikat. Promosi daerah adalah hal yang utama yang harus disikapi secara positif oleh mereka yang memang berkaitan dengan hal ini. Ini memang harus selalu digelorakan, walau untuk saat-saat sekarang ini dunia sastra masih jauh dari jangkauan para pengusaha serta para penguasa. Sastra sendiri harus kembali membaca dirinya sendiri, dan orang-orang yang ada di luar sastra perlu juga membuka diri bahwa kita akan saling berbagi dan sama-sama menata bangunan megah menara yang akan dapat dinikmati bersama di hari-hari jauh ke depan. Kita tentu saja boleh bermimpi, tetapi ternyata dari mimpi itu tidak sedikit yang telah terbukti karena kerja keras semua pihak saling bahu-membahu dan terkadang capaian-capaian itu tidak disadari bahwa semua bermula dari secarik mimpi yang diwujudkan oleh goresan tinta, ujung pena menari-nari. Imajinasi kreatif bukanlah hayalan kosong belaka, bukanlah ruang dengan hampa udara, tetapi merupakan daya.

Nah, kita juga memerlukan rekan-rekan penulis, penyair atau sastrawan luar dating menghadiri agar gairah, promosi, serta beragam pemikiran, kreasi dan ide-ide cemerlang yang inovasi hadir dalam perayaan ASKS di Barabai nanti. Semoga saja. Mereka bersedia datang (Pergi dan Pulang) menggunakan dana mereka sendiri. Panitia hanya menyiapkan akomodasi dan konsumsi. Tetapi karena kota Barabai berjarak sekitar 160 km dengan daya tembuh 3 – 4 jam perjalanan, maka perlu juga koordinasi agar perjalanan mereka lancar dan sebagai tuan rumah perlu bersikap memperhatikan, melayani perjalanan mereka terutama sejak tiba di bandara Syamsudin Noor menuju kota Barabai. Beberapa pilihan dapat ditentukan dan diseting sedemikian rupa, misalnya ada mobil yang sudah siap untuk memberangkatkan mereka dalam satu rombongan, tentu saja jadwal kedatangan mereka terus terpantau. Boleh juga dengan menyiapkan penginapan khusus entah di Banjarbaru atau di Banjarmasin, setelah terkumpul semua sebagai satu rombongan maka mereka langsung berangkat ke Barabai. Atau ada pula jenis pelayanan yang lain dan ini perlu persiapan yang matang-terkendali. Jangan sampai ada satu orang pun dari mereka yang mengalami hal-hal mengecewakan. Panitia harus siaga cepat tanggap dan tangkas untuk melayani dari kedatangan sampai akhirnya memberangkatkan mereka sesuai keinginan mereka. Panitia menjadi fasilitator, berfungsi sebagaimana mestinya.

Persiapan untuk itu tentu saja tidaklah dapat dilakukan bila hanya menunggu dalam hitungan satu bulan atau beberapa minggu. Agenda tidak bergesera, tanggal dan hari mutlak jelas dalam ketetapan pasti. Semua ‘orang-orang’ dalam kepanitiaan sudah tahu dan menguasai bidang kerjanya. Sarana-prasarana tidak kalang-kabut lagi bila tepat waktu, tepat tempat, tujuan dan fungsinya. Seting ini mutlak dan pertemuan demi pertemuan tidak dapat dikatakan tuntas bila hanya satu atau dua kali bertemu. Pertemuan tidak harus melulu dalam suasana rapat formal tetapi dirancang agar pembicaraan, pembahasan serta simpulan-simpulan langkah menjadi akurat dan membahagiakan, damai, bersahaja. Bila ada salah satu orang saja yang berpikiran untuk ‘menguras pundit-pundi dana’nya maka akan membuat semua jerih-payah itu akan sia-sia belaka, paling tidak ‘cacat dalam tata-laksana’.

Kita sangat berharap agenda ASKS ini dapat bergulir terus tanpa henti, walau di kemudian hari bentuk, nama, pelaku, spanduk serta sponsornya berbeda-beda. Paling tidak semangat untuk meraih kemajuan dan kesuksesan di semua bidang dalam pembangunan, tidak dapat mengesampingkan peranan di sisi budaya, seni dan kesenian. Bagaimana, wahai rekan-rekan di Barabai? Kita siap??! Ataukah, sampai saat ini masih banyak kendala karena yang namanya koordinasi itu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Akh, apakah hanya sampai batas wacana saja.

ARUH SASTRA 2008 TUTUP MULUT


Oleh: HE. Benyamine

Kalimantan Selatan, tepatnya di Balangan, pada 12 sampai 14 Desember ini, akan berlangsung suatu perhelatan besar tentang sastra dan kesusastraan. Aruh Sastra V namanya. Bagi kalangan sastrawan dan penggiat sastra dan kesusastraan tentu sudah tidak asing lagi. Masyarakat umum pada saat ini hanya mendengar sayup-sayup, bahkan hampir tak terdengar, padahal acara tersebut merupakan moment yang sangat besar bagi perkembangan sastra dan kesusastraan di Kalsel, atau lebih kerennya merupakan ajang untuk menunjukkan adanya suatu gerak kemajuan dalam dunia sastra, khususnya di Kalsel.
Halaman Radar Banjarmasin Minggu, Cakrawala Sastra & Budaya, dalam beberapa minggu ini terakhir memang memuat hasil Lomba Cerpen dan Puisi Aruh Sastra 2008, namun masih saja terasa sepi dan senyap perjalanan menuju aruh sastra tersebut. Seakan, tiada hiruk pikuk dan berbagai kesibukan yang menandakan akan adanya suatu pertemuan (hajatan) besar dalam dunia sastra Kalsel di Balangan.
Memang ada perdebatan, atau lebih tepatnya gugatan, atas terbitnya Ensiklopedia Sastra Kalimantan Selatan (ESKS) dari Balai Bahasa Banjarmasin (BBB), yang juga menghiasi lembaran Carkrawala dalam beberapa bulan terakhir. Kehadiran ESKS yang sebenarnya sudah cukup untuk dimaklumi sebagai suatu kelahiran tidak normal dan membawa cacat bawaan, lebih cenderung mendominasi berbagai pembicaraan kalangan yang konsen terhadap sastra dan kesusastraan, dan terlalu banyak menyita kesempatan dalam ruang media yang terbatas hanya setiap Minggu, sehingga pra Aruh Sastra berlalu begitu saja tanpa ada pergulatan, pergumulan, perdebatan, lontaran ide dan gagasan, pandangan terhadap perkembangan dan pertumbuhan sastra dan kesusastraan sejak aruh sebelumnya, dan bagaimana harapan ke depan.
Perdebatan tentang kehadiran ESKS, berdasarkan tulisan di halaman Cakrawala, memberikan kesan terlalu membesarkan sesuatu yang sebenarnya hanya bagian sempit dan kecil dari dunia sastra Kalsel. Para peneliti sastra, tidak terlalu naif untuk hanya mempercayai satu ensiklopedia sebagai rujukan dalam penelitiannya, sehingga ESKS tidakalah mampu mewakili luasnya sastra dan kesusastraan Kalsel. Juga, cenderung memposisikan para sastrawan Kalsel sangat tergantung dengan pemerintah dalam melaksanakan aktivitas dan kegiatan sastra. Apalagi, perdebatan ini dapat dikatakan tidak terlalu relevan dengan hajatan besar masyarakat sastra Kalsel di Balangan.
Masyarakat sastra Kalsel sudah sepatutnya mengarahkan segenap hati dan pikirannya dalam menyongsong Aruh Sastra V di Balangan. Membongkar kemapanan sastra Kalsel dalam setahun terakhir, agar tercipta keadaan “berantakan” yang kemudian digulirkan dalam berbagai kesempatan dan media oleh para sastrawan, seniman, dan pekerja sastra untuk dipilah, dipisahkan, dikelompokkan, dan disusun kembali. Bagaimanapun, pembicaraan ESKS merupakan contoh yang cenderung kepada kemapanan sastra, sedangkan bentuk bukunya yang lahir cacat seakan telah mengganggu kemapanan tersebut.
Aruh Sastra V terlalu besar jika hanya sekedar hajatan “kumpul-kumpul” yang cenderung kangen-kangenan dan nostalgia dengan berbagai acara hiburan “ngesastra”. Hajatan besar ini harus mampu memunculkan “prahara budaya” yang terjadi di Kalsel, dan dimana posisi para sastrawan dan seniman di dalamnya. Para sastrawan, yang memilih posisi tertentu dengan konsekuensi peran yang harus dimainkan, harus mulai terlibat dengan berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Kalsel. Pembicaraan pertumbuhan, pembinaan, dan perkembangan sastra di Kalsel biarlah menjadi lahannya komunitas kecil sastra dan berskala lokal atau daerah.
Sastrawan dan seniman Kalsel sudah saatnya menunjukkan keberpihakan kepada berbagai masalah kehidupan masyarakat, sekaligus sebagai cara “menginjakkan kaki” di bumi, terutama dalam ide dan gagasan yang dilanjutkan dengan sikap terhadap setiap persoalan yang “menghujam dan menikam” masyarakat. Hal ini memang mempunyai konsekuensi terjadinya hubungan yang kurang “harmonis” dengan pemangku kekuasaan, tetapi pilihan cara dan kecenderungan keterbukaan memberikan peluang untuk mengurangi ketidakharmonisan tersebut. Kemandirian sastrawan dan seniman menjadi penting artinya untuk diperjuangkan. Walaupun selama ini para sastrawan dan seniman berusaha menjalin hubungan baik dengan elit kekusaan, kepedulian pemerintah terhadap sastra tetap saja masih kalah sangat jauh bila dibandingkan dengan kegiatan olahraga.
Hajatan besar dari Aruh Sastra Kalsel I di Kandangan, HSS (2004), Aruh Sastra Kalsel II di Pagatan, Tanah Bumbu (2005), dan Aruh Sastra Kalsel III di Kotabaru, Kotabaru (2006), hingga Aruh Sastra Kalsel IV di Amuntai, Hulu Sungai Utara masih belum mampu memperlihatkan suatu pilihan peran dan sikap dari para sastrawan dan seniman sebagai bagian dari masyarakat untuk bersama-sama memperjuangkan kesejahteraan bersama yang lebih baik. Sebagai bagian masyarakat dan sebagai entitas bebas yang sadar, para sastrawan dan seniman, haruslah terlibat dalam memperjuangkan kebaikan bersama, karena bila masyarakat menjadi sejahtera secara otomatis sastrawan dan seniman termasuk di dalamnya.
Aruh Sastra V jelas bukan hajatan besar untuk tutup mulut. Bersuaralah, bersuaralah dengan lantang, karena banyak yang tidak mampu bersuara sebagaimana sastrawan dan seniman. Para sastrawan dan seniman serta pencinta sastra dan seni, berkumpul untuk suatu hal yang besar sebagai ajang tahunan, yang tentunya digagas untuk “memercikkan cahaya” dalam berbagai kesadaran tentang situasi dan kondisi daerah. Jelas, harapan besar dibebankan kepada Aruh Sastra V, agar hajatan besar ini menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat, memberikan cahaya penyadaran kepada masyarakat, dan mampu menggerakkan masyarakat untuk meraih kesejahteraan yang semestinya. Selamat, sukses Aruh Sastra!

Radar Banjarmasin, 13 Desember 2008: 3

MEMANDANG BANJAR SEBAGAI PUSAT KEBUDAYAAN (Aruh Sastra VI Batola)


Oleh: HE. Benyamine

Hajatan tahunan sastra di Kalimatan Selatan sedang dipersiapkan pelaksanaannya. Aruh Sastra VI telah ditetapkan penyelenggaraannya di Batola sejak Aruh Sastra V Balangan, setahun berjalan, waktu yang cukup panjang untuk mempersiapkan “perjalanan menuju” menghidupkan sastra dan sekaligus membangkitkan semangat visi Banjar sebagai pusat kebudayaan; karena merupakan titik di mana tercipta dan berkembangnya budaya Banjar itu sendiri.

Aruh Sastra VI Batola terkesan masih sebagai acara tahunan yang pelaksanaannya hanya pada saat dilaksanakan acara tersebut. Pelaksana yang ditunjuk, sejauh yang dapat diketahui, terlihat tidak memanfaatkan waktu yang panjang dengan berbagai aktivitas dan gerakan dalam sastra dan budaya untuk menuju hari pelaksanaannya. Atau, aktivitas dan gerakan sastra dan budaya lebih banyak yang tersembunyi dan hanya untuk kalangan terbatas untuk mengatakan bahwa sebenarnya sastra dan budaya masih berdetak kehidupannya di banua ini.

Pelaksanaan Aruh Sastra selanjutnya perlu memikirkan bagaimana memanfaatkan waktu yang panjang hingga menjelang aruh selanjutnya, tidak hanya diserahkan pada panitia pelaksana yang ditunjuk sebagai tuan rumah, tapi melibatkan semua untuk bersama dalam gerak budaya ini, karena kegiatan ini merupakan acara tahunan yang strategis dalam membangkitkan semangat visi Banjar sebagai pusat kebudayaan bagi segala daya hidup untuk kebudayaan Banjar itu sendiri.

Banjar sebagai pusat kebudayaan bagi kebudayaan Banjar, tidak menapikkan perkembangan kebudayaan lain yang menjadi pusat sendiri bagi kebudayaan yang bersangkutan. Dalam bersikap dan bertindak, manusia Banjar harus menyadari bahwa mereka berada di pusat kebudayaan mereka sendiri, yang bangga dengan segala daya cipta dan karya yang dihasilkannya. Dengan menyatakan diri dalam dan berada di pusat kebudayaan sendiri, yang mengacu pada di mana manusia Banjar itu berdiri sebagai titik acuannya dalam memandang dunia sekitarnya dan dunia di luarnya, tentu tidak ada dan perlu lagi pertanyaan “mana karya sastra manusia Banjar yang diakui pusat (misalnya Jakarta)?” untuk menujukkan eksistensi diri.

Manusia Banjar yang tidak mengarahkan pandangannya dalam gerak Banjar sebagai pusat kebudayaan, sama saja menyatakan bahwa kebudayaan Banjar tidak patut lagi hidup atau memang sudah terhenti detak kebudayaannya, karena mereka telah hidup dan berkehidupan dengan budaya lain meskipun berada di tanah Banjar, yang selalu mengacu pada bagaimana pusat kebudayaan di luarnya memberikan pengakuan terhadap eksistensinya. Dalam hal ini, meminjam ungkapan tentang bagaiman terhormatnya seseorang yang menjadi kepala dalam bisnis kecil yang dijalankannya daripada besar dalam perusahaan besar tetapi menjadi ekor. Di sini, ada suatu kebanggaan terhadap hasil karya dan daya cipta sendiri, yang terwujud dalam bagaimana cara memandang berdasarkan semangat budaya sendiri sebagai pusat kebudayaan.

Dalam hal karya, membandingkan dengan hasil karya budaya lain memang perlu dan baik, tetapi tidak dengan menghilangkan sandaran budaya suatu karya itu tercipta atau diciptakan. Biarpun hasilnya tidak sebanding dengan perkembangan hasil karya dari budaya luar, tidak seharusnya menjadikan manusia di dalamnya lebih rendah atau merendahkan diri atas hasil karya sendiri. Perbandingan hasil karya, ataupun pengakuan dari luar, tidak lebih dari upaya penyadaran untuk terus berkarya dengan mengacu pada di mana manusia tersebut berada dalam memandang dunia di sekitar dan di luarnya.

Untuk membangkitkan semangat visi Banjar sebagai pusat kebudayaan, yang keberadaanya sudah ada dengan berbagai hasil karya kebudayaan; hanya dilanjutkan generasi berikutnya, tentu mempunyai berbagai hambatan, yang utama antara lain: (1) kesadaran pemegang kekuasaan di daerah betapa sangat pentingnya kebudayaan tidak terlihat, (2) keberpihakan elit kekuasaan untuk kegiatan budaya hanya ditunjukkan saat diperlukan untuk kepentingan sesaat, (3) kepala daerah kurang atau tidak sama sekali mau mengerti dan memahami arti penting kebudayaan bagi dasar program pemerintahannya, dan (4) pemerintah daerah tidak mempunyai pemihakan dalam anggaran untuk kegiatan budaya. Hambatan juga bisa dari kalangan yang bergerak dalam bidang kebudayaan itu sendiri, namun hambatan ini cenderung bergantung pada kesadaran pemerintah daerah.

Hambatan dari pemerintah daerah dan elit kekuasaan daerah di atas, menyebabkan kebudayaan Banjar menjadi terkendala dan bahkan bisa terhenti, yang secara tidak langsung memberikan peluang tumbuh dan berkembangnya budaya yang sangat bergantung dengan perkembangan budaya yang menjadi rujukannya. Hal ini dapat lebih berkembang pada elit kekuasaan di daerah, sehingga mereka cenderung melupakan hidup dan berkembangnya kebudayaan sendiri, seperti terlihat pada tiadanya sensitivitas terhadap bangunan pemerintah yang sangat mengacu pada arsitektur luar.

Dalam hal anggaran untuk kegiatan budaya, pemerintah daerah (provensi dan kabupaten/kota) tidak bisa diharapkan keberpihakannya, seakan kegiatan budaya tersebut tidak mempunyai hubungan penting dan bermakna dalam membangkitkan semangat dalam pembangunan dan menunjang keberhasilan program pemerintah. Elit kekuasaan daerah juga cenderung tidak peduli, jika kepala daerah berupaya memperjuangkan anggaran untuk kegiatan budaya. Jelas terlihat betapa kegiatan budaya, seperti sastra dan kesenian, tidak dapat dipahami dan dimengerti oleh elit kekuasaan sebagai bagian penting dalam gerak kemajuan. Kemungkinan besar, sebagian peserta Aruh Sastra VI Batola kurang mendapat perhatian dan bantuan fasilitas dari daerah masing-masing dalam mengikuti acara tersebut, karena alasan yang sangat tidak peka dan mengada-ngada.

Seandainya, kegiatan budaya disadari sebagai suatu kegiatan yang penting dalam pembangunan dan pemerintah merasa berkepentingan dengan kegiatan tersebut, tentu tidaklah sulit untuk membantu para peserta yang akan berangkat ke Batola (bahkan dengan uang saku) dan memberikan tugas kepada guru-guru bahasa atau mata pelajaran sastra atau muatan lokal (SD/MI – SMA/Sederajat) di daerah masing-masing melalui dinas terkait untuk mengikuti acara Aruh Sastra. Apalagi kegiatan ini diselenggarakan setahun sekali, yang tentu dapat memberikan suatu penyegaran dan pengayaan guru-guru tersebut, dengan harapan para guru tersebut termotivasi untuk membangkitkan semangat visi Banjar sebagai pusat kebudayaan yang hanya dapat diwujudkan bila terus berkarya.

Dalam upaya membangkitkan semangat visi Banjar sebagai pusat kebudayaan, manusia Banjar harus menyadari bahwa dirinya yang memandang dunia di sekitar dan di luarnya. Selama manusia Banjar menyadari bahwa dirinya yang terikat dengan budaya Banjar terus menciptakan karya sastra, maka tidak berlebihan jika dia menganggap dirinya sebagai pusat pandang dalam dunia sastra yang dihasilkannya, terlepas itu bisa diterima penerbitan di luar (seperti Jakarta sebagai pusat yang lain) atau tidak diakui sebagai karya sastra yang bermutu.

Pada Aruh Sastra VI Batola, menjadi tawaran wacana yang penting bagaimana membangkitkan visi Banjar sebagai pusat kebudayaan, karena Banjar sebagai suatu kebudayaan tentu masih diharapkan mampu terus menjadi sistem nilai budaya yang hidup dan berkembang. Sebagai pusat kebudayaan sendiri, sekecil apapun adanya, ia tetap merupakan suatu bentuk dan roh yang hidup dalam kehidupan manusia Banjar.

Jadi, sangat banyak harapan dalam hajatan Aruh Sastra, untuk terus menghidupkan budaya dan membangkitkan semangat visi Banjar sebagai pusat kebudayaan, dengan mendorong dan mendukung dalam berkarya dan berbuat dengan cara pandang sendiri, sebagai manusia Banjar yang juga mempunyai pandangan terhadap dunia. Biarlah orang luar atau manusia Banjar sendiri yang melihat adanya sinar dari tanah Banjar, redup atau terang, itulah karya dari manusia Banjar yang terus bergerak dan berproses dalam kebudayaan sendiri.

(Radar Banjarmasin, 2 Desember 2009:3)





ARUH SASTRA VII TANJUNG 2010 : SARABA KAWA


Oleh: HE. Benyamine

Pelaksanaan Aruh Sastra VII 2010 di Tanjung, Kabupaten Tabalong, menandai telah berlalunya setahun dari pelaksanaan Aruh Sastra tahun sebelumnya. Pelaksanaannya berlangsung dari tanggal 26 – 28 November 2010 dengan tema “Saraba Kawa: Menjunjung Kesenian, Bahasa, dan Sastra Daerah”, yang memperlihatkan adanya semangat dalam mengapresiasi daya cipta dan karya yang dilahirkan dari daerah sendiri; terutama kesenian, bahasa, dan sastra.

Dalam perjalanan satu tahun setelah Aruh Sastra VI Batola 2009, tentu telah banyak karya yang berhubungan dengan kesenian, bahasa, dan sastra yang dilahirkan oleh para pelaku, baik yang telah lama bergumul maupun yang baru terlibat dengan kegiatan pengembangan daya cipta dan kreativitas dalam bidang-bidang tersebut. Misalnya, seperti penerbitan buku-buku dari masing-masing daerah (kabupaten/kota) yang terkait dengan dilaksanakannya Aruh Sastra tersebut. Karena, berdasarkan hasil karya dan kreativitas tersebut yang dapat membukakan berbagai kemungkinan apresiasi dan membuka jalan untuk menjunjung suatu karya sebagai membanggakan. Bagaimana mungkin kita menjunjung sesuatu yang sama dari tahun ke tahun, dan seandainya ada yang baru itupun hanya sebagian daerah yang terlihat dapat mempertunjukkan hasil karya dan kreativitas, seperti dalam bentuk buku tersebut.

Daerah (kabupaten/kota) yang belum memperlihatkan hasil karya sebagaimana yang ingin dijunjung dalam semangat Aruh Sastra, atau masih bangga dengan yang sudah ada, sudah selayaknya dapat menunjukkan adanya peningkatan kualitas karena dalam hal kuantitas belum tergarap. Karena, pelaksanaan aruh sastra ini merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga dan penting dalam hal pemberian apresiasi dan pertukaran semangat untuk terus meningkatkan daya cipta dan karya serta kreativitas. Memang, apresiasi terhadap suatu karya dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja, namun dalam aruh sastra lebih memberikan penguatan yang berbeda dengan bertemunya dari berbagai daerah.

Dalam beberapa kesempatan di media massa, terlihat ada beberapa pemerintah daerah yang begitu antusias dengan pelaksanaan aruh sastra, yang memberikan penegasan dukungan terhadap warga masyarakatnya yang akan menjadi utusan daerahnya, tentu hal tersebut memperlihatkan adanya kesadaran betapa pentingnya kegiatan aruh sastra dan berbagai hal yang menjadi dasarnya, yaitu: kesenian, bahasa, dan sastra. Mungkin, daerah yang lain juga telah mempersiapkan diri tetapi tidak terekspos di media massa, sehingga tidak terlihat bagaimana sikap pemerintah daerahnya terhadap event seperti aruh sastra ini.

Perhatian pemerintah daerah (kabupaten/kota) dalam pelaksanaan aruh sastra, apalagi berusaha memberikan peluang dan fasilitas kepada warganya (khususnya para pelaku) untuk menjadi peserta aktif, menunjukkan bahwa pemerintah daerah tersebut menyadari tentang kesenian, bahasa, dan sastra daerah merupakan bagian penting dari pembangunan, yang bahkan dapat menjadi dasar dalam pelaksanaan pembangunan tersebut. Hal ini juga berhubungan dengan kesadaran bahwa daerah sangat berkepentingan dengan daya cipta dan kreativitas warganya, yang merupakan penanda adanya perkembangan dan kemajuan suatu daerah dalam pelaksanaan pembangunan.

Daya cipta dan kreativitas selalu mengarahkan pada munculnya nilai tambah, yang mendorong tumbuhnya berbagai peluang baru dalam mengoptimalkan pemanfaatan bahan mentah atau nilai budaya yang ada untuk lebih sesuai dengan perkembangan zaman. Di sini, terlihat bagaimana panitia pelaksana Aruh Sastra 2010, telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengarahkan peluang daya cipta dan kreativitas dengan memilih tema yang menjunjung kesenian, bahasa, dan sastra daerah. Karena, hal itu berhubungan dengan cara pandang manusia di daerah ini dalam daya cipta dan kreativitas, yang jika dilakukan dengan sungguh-sungguh memang sepatutnya dijunjung dan sanjung.

Jadi, pelaksanaan Aruh Sastra VII 2010 Tanjung seharusnya mendapatkan perhatian pemerintah daerah (kabupaten/kota) dan pemerintah provinsi, karena daya cipta dan kreativitas yang dapat mengangkat daerah dan menjadi pembeda, yang sekaligus menjadi ukuran bagi daerah masing-masing dalam melihat dan memperhatikan denyut kehidupan kesenian, bahasa, dan sastra yang selama ini berlangsung. Apalagi, apa yang menjadi fokus aruh sastra sebenarnya sangat berhubungan dengan dinas pendidikan, pariwisata dan budaya, dan perindustrian, yang tentu sangat berkepentingan untuk kemajuan daerah masing-masing. Semua itu berhubungan dengan daya cipta dan kreativitas sebagai keniscayaan untuk dikatakan adanya keberhasilan dan pencapaian tujuan. Semua itu yang memberikan peluang dan kemungkinan Saraba Kawa sebagaimana tema aruh sastra kali ini. Selamat untuk pertemuan daya cipta dan kreativitas.

(Radar Banjarmasin, 26 November 2010: 3)




GAGASAN DARI PERISTIWA SASTRA


Oleh: Ali Syamsudin Arsi

SEKALI WAKTU saya ikut bergabung dengan Abang Erwin Dede Nugroho (Bang Erwin) yang Pemimpin Redaksi koran ini, biasanya di sana juga ada Abang Ogi Fajar Nujuli (Bang Ogi) yang di hadapanku berkapasitas sebagai Ketua Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, tidaklah berlebihan bila sekali waktu terlontar juga uneg-uneg yang telah lama ingin dikemukakan, dari banyak hal mungkin yang satu ini saya anggap paling penting, yaitu tentang sebuah upaya lebih tinggi terhadap motivasi menulis sastra di koran ini (Radar Banjarmasin): Honor, ya tidak lain soal honor. Ketika menyampaikan permohonan agar honor menulis sastra diperhatikan dengan adanya kenaikkan nilai rupiahnya, dalam hati, saya menjadi ingat kepada dangsanak Sandi Firly yang bertindak sebagai penjaga gawang dua halaman Sastra & Budaya, saya berdoa pada waktu itu, semoga Sandi dalam keadaan sehat dan sukses selalu. “Berapa sebaiknya honor menulis sastra itu ditingkatkan?”Tanya Bang Erwin mencoba (seperti) mau tahu.”Yaah, cobalah sedikit dinaikkan menjadi seratus ribu untuk sekali dimuat tulisan itu, “ jawab saya penuh harap. Dalam hati saya, sambil mengkalkulasikan semisal sepuluh kali dalam setahun kan lumayan juga jumlahnya. Jawaban yang didapat adalah,”nanti akan dibicarakan.” Saya pun berdoa, sampai sekarang, “moga saja terkabul bahkan sampai ke angka lima ratus ribu rupiah.” Ketika pulang dari begadang malam itu, di kepala saya ada kalimat, mimpi apa lagi yang hadir dari peristiwa demi peristiwa yang saya anggap sebagai salah satu peristiwa sastra, secara pribadi merupakan akumulasi keinginan untuk meramaikan dunia kecil yang bernama sastra di daerah ini atau katakan saja di kota kita masing-masing di propinsi paling selatan pulau Kalimantan. Padahal wilayah Kalimantan Selatan sangat diperhitungkan dibanding wilayah lain sepulau karena alasan jumlah pegiat sastranya, untuk kualitas pun tidaklah mengecewakan. Untuk peta kesastraan wilayah ini cukup terwakili di setiap kabupaten dan kota karena adanya orang-orang yang selalu bergairah dalam setiap kegiatan sastra.


DI WAKTU YANG LAIN ketika saya bersama M. Rifani Djamhari serta Syaefuddin menghadiri acara dengan bentangan spanduk bertulis huruf besar, DIALOG SASTRAWAN KALIMANTAN, di Samarinda pada hari Sabtu tanggal 9 Desember 2006 yang telah lewat, ada yang menarik ketika seorang pembicara memaparkan gagasannya. Gagasan itu menarik dan lumayan unik tetapi rada-rada sulit direalisasikan. Tetapi tidaklah salah bila itu pun mendapat porsi untuk disikapi bersama. Adalah sebuah usul yang dilontarkan oleh Kepala Kantor Bahasa Kaltim, agar persoalan tulis menulis sastra dan bahasa mendapat tempat di setiap penerbitan koran-koran yang ada di Samarinda atau Kalimantan Timur, dan urusan honor akan disediakan oleh pihak kantor Bahasa Kaltim. Wah, saya langsung merespon dengan senyum seraya kening berkerut, apa mungkin itu, tetapi bagus juga gagasan Anda Bung!!! Adalah Drs. Pardi, M.Hum. yang bertindak sebagai penanggung-jawab pertemuan itu sambil berdiri menawarkan sebuah kerja sama. Saya tidak memperhatikan lagi apa yang diutarakan oleh Bung Syafril Teha Noer yang dihadirkan dari unsur penerbitan (wartawan Kaltim Post). Saya lebih tersedot pemikiran tentang tawaran kerja sama itu daripada paparan untung ruginya bisnis penerbitan sebagai proses yang sangat ketat dalam persaingan. Walau saya tahu bahwa paparan Bung Syafril adalah paparan cerdas dalam bidang yang digeluti beliau yang intinya tidak jauh beda dengan alasan Sandi Firly, bahwa hanya halaman Sastra & Budaya saja yang menyediakan honor di koran Radar Banjarmasin. Sementara rubrik lain tidak sama sekali, pun untuk opini. Nah, bagaimana dengan gagasan kerja sama tadi, berbesar hatikah pihak Balai Bahasa Banjarmasin bila ada tulisan sastra dan bahasa yang terbit di koran untuk memberikan kontribusi honornya ? Besarkah pertanyaan ini, akh tidak juga, tetapi cukup melapangkan bila memang apresiasi terhadap tulisan dan penghidupan penulisnya dimulai dari honor yang lumayan besar agar pemenuhan kebutuhan penulis dapat terpenuhi. Mimpi apa lagi yang bergelantungan di ujung rambutku ketika pulang dari Samarinda itu.


WAKTU USAI MAGHRIB saya ditunggu Bapak Mugeni, Kepala Balai Bahasa Banjarmasin di sebuah tempat, sambil makan malam beliau bercerita banyak tentang komitmen balai yang dipimpin beliau dalam mengembangkan kehidupan Sastra dan Bahasa di wilayah Kalimantan Selatan ini. Saya sangat suka itu. Saya merespon positif segala upaya itu
Saya buktikan respon positif itu dengan kesediaan saya ikut bergabung menjadi pembimbing kegiatan Bengkel Sastra yang diadakan di berbagai daerah di Kalsel ini, yaitu mulai dari Rantau, Tanjung, Pelaihari, Barabai, dan Marabahan, selain di Banjarbaru dan Martapura. Sebenarnya menurut beliau gagasan untuk Dialog Sastrawan Kalimantan itu diilhami dengan adanya Aruh Sastra yang ada di wilayah kita yang setiap tahun dilaksanakan dengan tempat pelaksanaan secara bergilir dari satu kabupaten atau kota yang ada di Propinsi Kalsel. Jadi, semacam Aruh Sastra-nya Kalimantan. Wah, gagasan yang patut direalisasikan untuk tahun-tahun ke depan. Pasti ada gairah baru yang lebih besar lagi dalam dunia planet sastra kita di pulau ini. Lalu, apa siapa bagaimana dan untuk apa, itu urusan yang harus dimusyawarahkan dengan pihak-pihak lain. Dinas Pendidikan, adakah andilnya dalam hal ini. Dinas Pariwisata dan Budaya, adakah gelitik hati untuk bersanding dalam acara ini. Bagaimana dengan pemerintah propinsi atau kabupaten bahkan pemerintah kota. Hai hai. Saya melihat acara yang mulai dibangun di Samarinda itu adalah awal yang baik dan saya katakan juga bahwa saya sepakat bila itu dilanjutkan pada tahun-tahun berikutnya dengan cara berpindah tempat penyelenggaraan. Bagaimana dengan angka tahun 2007 ? Adalah sangat bagus bila mampu disinergikan dengan agenda sastra yang terjadi pada tahun depan di Kalsel. Sangat bagus bahkan.

KURUN WAKTU TAHUN 2007 tidaklah lama lagi. Pertama. Bergulirnya agenda Aruh Sastra untuk pelaksanaan yang ke-4 di Amuntai, Hulu Sungai Utara, memberikan kesan sangat dalam dan dapat dijadikan tolak ukur tentang sejauh mana geliat sastra di Kalsel ini. Kepada Bapak Harun al-Rasyid yang bertindak sebagai tokoh nomor satu di Amuntai sekarang pada agenda aruh tersebut saya menyarankan beberapa hal yang perlu dipikirkan kembali acaranya. Mata acara yang sangat menjadi perhatian saya adalah Festival Pagelaran Sastra. Saya melihatnya dari sudut yang boleh jadi berbeda dengan rekan pegiat sastra lain. Saya melihat masing-masing peserta membawa konsep pemahamannya ke atas panggung yang belum tentu sama dengan konsep yang ada di benak para juri. Apalagi semua juri berangkat dari ketidakterwakilan pada seluruh peserta. Ini bukan berarti saya meragukan kemampuan ketiga juri pada waktu itu, mereka masing-masing adalah pakar sastra yang boleh dipercaya pada bidangnya. Tetapi apakah mereka telah memahami benar tentang apa yang sedang terjadi pada saat itu. Adalah di rumah M. Rifani Djamhari saya katakan kepada salah satu unsur panitia Aruh Sastra ke-3 kemarin, begini, “berkaca dari pelaksanaan Aruh Sastra ke-2 di Pagatan, maka saya berkesimpulan bahwa para sastrawan datang ke tempat yang jauh itu, tempat diadakannya aruh itu, adalah sangat diharapkan mereka tampil, walau sekedar membaca puisi atau cerpen. Jadi, bukan yang tampil itu para penari atau para pemain drama. Sekali lagi yang ingin tampil itu adalah para Sastrawannya. Artinya, penampilan para sastrawan itu menjadi pokok acara, bukan sebagai tempelan pengisi acara di sela-sela acara lain” Boleh jadi ada yang beralasan bahwa bentuk festival pagelaran sastra itu untuk lebih melebarkan sayap ke wilayah lain, agar sastra menjadi lebih beragam cakupannya. Saya tidak menolak festival itu, tetapi formatnya yang lebih baik menurut saya tidak untuk dilombakan, tidak untuk difestivalkan, tetapi cukup untuk pengisi acara di antara acara Sastranya sendiri. Bahkan boleh saja bentuk festival itu ditiadakan sama sekali. Saya melihat kebermaknaan sastra akan lebih dekat dengan bentuk lain seperti musikalisasi puisi atau visualisasi cerpen. Oke, itu hanya sebagai masukkan kepada panitia pelaksana. Aruh Sastra adalah sebuah kerja akbar, jadi, selalu berkoordinasi dengan pihak lain adalah sebuah keharusan. Persiapannya pun tidak bisa hanya sebulan atau dua bulan, paling tidak perlu waktu 6 bulan sebelumnya, karena ada mata acara yang memerlukan waktu persiapan lebih jauh terutama publikasinya, seperti mata acara Lomba Penulisan Puisi dan Cerpen, juga Pembuatan Antologi Puisi Penyair Kalimantan Selatan. Kedua. Adanya rekomendasi dari Kongres Cerpen Indonesia di Riau yang mempercayakan kepada rekan-rekan di Kalsel sebagai tempat pelaksanaan Kongres Cerpen Indonesia pada tahun 2007 adalah sebuah agenda sastra yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Pada hal ini saya belum bisa memberikan kontribusi gagasan lebih banyak karena memang saya sendiri tidak terlibat secara langsung apa yang terjadi, walau pun ketika saya menghubungi Saudara Raudal Tanjung Banua disarankan olehnya untuk berangkat saja ke Riau nanti segala sesuatu bisa dia bantu urus di sana, tetapi aku katakan nanti sajalah. Ketiga. Apabila pihak Balai Bahasa Banjarmasin jeli melihat ini sebagai agenda sastra yang mampu memberikan warna dari kedua agenda sastra di atas maka ini harus mereka upayakan agar pelaksanaan Dialog Sastrawan Kalimantan dapat dilaksanakan di Kalimantan Selatan. Untuk agenda ini saran saya terfokus kepada para pembicara sebagai narasumber, saya katakan kepada kakawanan di Banjarbaru bahwa harus ada pembagian jumlah, yang ideal menurut saya adalah 10 orang pembicara. Empat dari tuan rumah, lalu dua pembicara dari masing-masing Propinsi tamu. Pada intinya para pembicara harus mampu menyuarakan peta sastra di masing-masing propinsi yang ada di Kalimantan, agar mampu menguak tirai-tirai sastra di masing-masing tempat, bukan seperti yang terjadi di Samarinda (Kaltim) yang pada simpulan saya adalah bagaimana cara kita (kalau tidak dikatakan mereka) untuk memajukan kesastraan di Kaltim, karena dari semua pembicara tidak ada yang menyampaikan peta sastra Kalimantan secara umum di dalam kertas kerjanya. Agenda ketiga ini kita berharap banyak, sekali lagi, agar dapat diupayakan oleh pihak Balai Bahasa Banjarmasin. Bagaimana Bapak Mugeni, saya bertanya, ketika angin berhembus pelan di ujung daun telinga dan orang-orang sedang menikmati jagung bakar di lapangan Murdjani. (Saya jadi teringat betapa nikmatnya duduk santai di Tepian Mahakam yang membentang sepanjang bantaran Sungai Mahakam di pusat kota Samarinda bersama gemerlap lampu yang memantul di permukaan sungai, bergabung juga keluarga Mugiharto Wakhmadi, S.S, keluarga yang kami tempati bertiga, sebagai kenalan kami di kota Samarinda).Keempat. Agenda ini sebenarnya sudah rutin dilaksanakan di kota Banjarbaru, yaitu Tadarus Puisi dan Silaturrahmi Sastra. Memasuki tahun 2007 ia akan menjadi tahun ke-4 pelaksanaan yang bertepatan dengan suasana bulan suci Ramadhan.Kami telah menambah mata acara Lomba Baca Puisi Islami se-Kalimantan Selatan pada tahun 2006 di bulan Oktober yang baru lewat. Sebenarnya ada satu agenda yang belum terlaksana, yang ketika saya konsultasikan dengan Ketua Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, Bang Ogi, yaitu mengundang sastrawan luar pulau Kalimantan, dan saya sudah kontak rekan penyair Acep Zamzam Noor, redaktur budaya Ahmadun Y Herfanda serta rekan Hasif Amini, tetapi maaf rencana ini belum dapat terlaksana. Moga saja di lain waktu dapat terwujud, mimpi itu perlu walau untuk mewujudkannya haruslah pula berkaca kepada realita.


Waktu pun bergulir dan terus bergulir, tidaklah mampu dibendung, bahkan oleh kita sendiri. Karena barang siapa yang dapat mengikuti irama dari pergerakkan arus waktu itu maka yakinkan saja ia akan dapat menemukan muara-muara yang membahagiakan baginya atau juga bagi orang lain. Nah, bila di waktu yang berangka tahun 2007 dapat kita laksanakan agenda sastra seperti yang saya tuliskan di atas maka Kalimantan Selatan boleh saja menjadikan tahun itu sebagai Tahun Sastra. Tentu saja kita tidak boleh mengabaikan agenda-agenda sastra lain, seperti rutinnya Lomba MusikalisasiPuisi di STIKIP PGRI Banjarmasin, Bengkel Sastra oleh Balai Bahasa Banjarmasin, SSSI di (tiga kota: Banjarmasin, Martapura dan Kotabaru). Lalu saya menatap kepada Bang Erwin dan Sandi, dalam hatiku, terkabul jugakah tawaranku seperti tawaran rekan-rekanku yang lain tentang kenaikkan honor itu.Ataukah kita atur bersama-sama, karena alasan kualitas tulisan sangat berperan di dalamnya? Malam telah larut,saya pulang ke rumah, tertangkap serpih-serpih embun di daun pintu, pagi hampir tiba menyeruak dan kita membawa harapan masing-masing di telapak tangan terbuka tengadah. Hanya kepada Tuhan permohonan demi permohonan di panjatkan, tetapi jika boleh menawarkan maka itulah tawaran yang paling mulia untuk dapat memulai ke arah yang lebih baik. Demi kita semua. Amin.

ALAM SEKITAR DI MATA PENYAIR KALSEL


Oleh: Ali Syamsudin Arsi

Di buku kumpulan puisi Tarian Cahaya di Bumi Sanggam, menampakkan data yang cukup menarik diperhatikan adalah puisi-puisi bertema ‘alam sekitar atau lingkungan’. Buku yang digagas berdasarkan pelaksanaan akbar Aruh Sastra Kalimantan Selatan ke-5 tahun 2008 di Kabupaten Balangan, dan kota Paringin sebagai tempatnya semua rangkaian kegiatan. Menarik untuk ditelisik, buku setebal 260 itu menampung 86 penulis dengan 187 puisi. Dari jumlah itu terlihat ada 76 puisi bertema atau mengandung tafsiran alam sekitar atau lingkungan yang diciptakan oleh 50 orang penulis.

Menurut telisik saya, tema alam sekitar atau lingkungan dimaksud adalah adanya keterkaitan kata-kata beridentifikasi alam sekitar atau lingkungan di dalam puisi tersebut. Kata-kata beridentifikasi itu (1) ada yang secara utuh sejalan dengan tema alam sekitar atau lingkungan, dan (2) sebagai metafor atau idiom-idiom yang dapat saja menghadirkan tafsiran lain, selain makna denotasinya.

Data yang saya dapat sejumlah puisi dengan kandungan tema alam sekitar atau lingkungan tersebut adalah sebagai berikut: Selepas dari hutan (Taufiq Ht), Ketika aku berjalan menembus hutan; Ketika aku berjalan menyusur sungai; Ketika aku berjalan menyisir pantai (Tarman Effendi Tarsyad), Biografi kayu gelondongan; Biografi deru mesin; Biografi sungai mengalir (Tajuddin Noor Ganie), Wajah (Syafiqotul Machmudah), Tentang aku dan sajak (Sandi Firly), Sketsa (Rosydi Aryadi Saleh), Sajak pembebasan; Berlari bersama angin (Robby Syachra), Sebab hujan adalah pertemuan kita (Ratih Ayuningrum), Dulu aku pernah melukis langit (Rahmiyati), Raja gundul; Nyanyian hutan larangan (R. Syamsuri Saberi), Kepada kawan segenggam pasir; Kembang hidupku (Oka Miharja S), Dari puncak gunung hauk kulihat dia (Murjani Hasan), Laskar embun; Buram (Misbah Munir Akhdy), Gerimis kehidupan (Muhammad Noor), SOS kalimantan selatan; Hutan di mataku; Reportase dari kaki pegunungan meratus (Micky Hidayat), Jadikan kuda sumbawa (Meylida Mayangsari), Di batas laut saijaan; Gunung batu aji (Mas Alkalani Muchtar), Alia cikini 702; Dalam malam Jakarta (Maman S. Tawie), Duka meratus (M. Sulaiman Najam), Jamban (M. Nahdiansyah Abdi), Setelah pagi tiba (Lilies MS), Pada kerinduan (Isuur Loeweng S), Kenalkan laut padaku; Pada keasinan yang sama; Sebelum kau datang (Imra’atul Jannah), Amsal sebatang pohon; Balangan (Ibramsyah Amandit), Diam-diam berubah menjadi (Hudan Nur), Ritus meratus (Hardiansyah Asmail), Putihnya harap (Hamami Adaby), Potret ayah (Haliem Kr), Terbujur-halang menahan rindu; Gunung, laut, dan lelaki; Kerikil logam api (Hajriansyah), Sungaiku (H. Rizhanuddin Rangga), Kau jangan latah (Fitri Yani), Tuhan; Darah impian (Fahrurraji Asmuni), Sebuah mimpi (Fahmi Wahid), Sajak tentang bunga (Embeka), Sebelum halimun (Eko Suryadi WS), Karang bolong dini hari (Eddy Wahyudin SP), Persembahanku (Dwi Upayani), Salju turun di senja martapura; Bougenville (Dewi Alfiani), Loksado; Potret kehilangan (Burhanuddin Soebely), Sebuah dangau di tengah telaga; Dari tanganmu bunga-bunga berdaun kematian (Aspihan N Hidin), Reruntuhan pagi; Reruntuhan hujan (Arsyad Indradi), Aku menyimpan laut; Langgam bumi sanggam (Ariffin Noor Hasby), Lautku (Andi Jamaluddin Ar Ak), Surat putih seberang selat (Ali Syamsudin Arsi), Tadarus ombak (Aliman Syahrani), Menunggu hujan tumpah dalam puisiku (Abdurrahan el-Husaini), Gundah (A. Tajuddin Bacco), Jemari lembut; Gundah (A. Syarmidin), Nature in destruction; Surat cinta (A. Rahman al-Hakim), Episode perjalanan; Di dermaga Margasari suatu siang (A. Kusairi).

Sederet daftar puisi yang saya tulis berdasarkan judulnya di atas sebenarnya dapat saja tidak sebanyak itu bila ditelisik berdasarkan tema dengan penekanan ‘harus’ masalah alam sekitar atau lingkungan karena sejumlah puisi yang secara utuh membicarakan atau dengan sengaja bertemakan alam sekitar atau lingkungan masih dapat dipilah lagi darinya. Hanya saja ada kecenderungan, walau hanya berupa kelompok kata atau sebaris kata-kata atau pun hanya sebait, saya katagorikan (sementara) bahwa puisi itu mengandung ‘nilai-nilai alam sekitar atau lingkungan’. Sebagai contoh coba kita simak puisi pendek yang berjudul Tentang Aku dan Sajak, karya Sandi Firly sebagai berikut: semalam,/ aku bercakap-cakap dengan gerimis/ tentang aku ingin menggores kata-kata/ tentang kata-kata ingin menggores sajak/ tentang sajak ingin menggores aku/ kadang aku mencoret kata-kata/ kadang kata-kata mencoret sajak/ kadang sajak mencoret aku/ semalam,/ aku bercakap-cakap dengan gerimis/ bisakah aku berumah dalam kata-kata? /// Dalam tema besarnya jelas sekali bahwa puisi itu tidak bicara tentang alam sekitar atau lingkungan. Yang menjadi penguat sebagai metafor alam hanya terwakilkan oleh kata ‘gerimis’, tetapi ternyata suasana puitis itu lahir dari peristiwa ‘aku lirik’ dengan ‘gerimis’. Kata ‘gerimis’ di sini mampu menghadirkan suasana keragu-raguan ‘aku’ penulis terhadap kemampuan ‘kata-kata’ pun terhadap kedahsyatan ‘sajak’. Rangkaian baris ‘aku bercakap-cakap dengan gerimis’ yang kemudian dilakukan lagi pada bagian akhir sebagai bentuk pengulangan selengkapnya adalah juga sebagai penanda bahwa baris itu menjadi penting. Pada tataran semacam ini, nilai-nilai alam sekitar atau lingkungan hanyalah sebagai tema kecil saja, dan secara keseluruhan ia menjadi satu kesatuan dengan tema yang lebih besar dalam konteks puisi secara utuh.

Sangat jauh berbeda bila kita baca puisi yang berjudul SOS Kalimantan Selatan, karya Micky Hidayat (maaf karena cukup panjang, saya nukil 2 bait saja): … Maka terimalah pelampiasan dendam kesumatku: bumi Kalimantan Selatan beserta seluruh isinya ini akan kutenggelamkan dan kuredam sedalam-dalam hingga lenyap dari peta negeri beribu pulau ini. Maka terimalah laknat dan azabku: semua desa dan kota kusirnakan sesirna-sirnanya jangan pernah kalian cari lagi di mana geografi kabupaten Kotabaru, Tanah Bumbu, Tanah Laut, Tabalong, Hulu Sungai Utara, Balangan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Tapin, Banjar, Barito Kuala, Kota Banjarbaru dan Banjarmasin. Semuanya kuhabiskan dan lenyap tanpa sisa – hilang dari peta kemanusiaan. // Terimalah gelegak air bah amarahku ini sebagai tumbal dan ganjaran atas keserakahan, kerakusan dan kesewenang-wenangan manusia memerlakukan keseimbangan dan kelestarian alam ini. Segalanya kulumatkan, kululuh-lantakkan, kuhancurleburkan !// …

Saya tidak mengatakan bahwa sederet puisi-puisi itu dalam pembicaraan baik atau tidak baik berdasarkan nilai-nilai sebuah puisi. Saya hanya ingin mengungkapkan bahwa betapa seriusnya para penulis dalam buku kumpulan puisi tersebut menyuarakan isi hatinya, respon positifnya, tanggapannya, pikiran-pikiran kritisnya terhadap pentingnya kelestarian alam sekitar atau lingkungan sebagai tempat tinggal. Semua itu adalah bukti nyata bahwa para penulis puisi yang boleh jadi disebut juga sebagai penyair telah memberikan sumbangan besar terhadap keberlangsungan pembangunan di tanah tercinta ini. Dengan cara dan ungkapan estetisnya pula para penyair Kalimantan Selatan, yang dalam hal ini termuat dalam buku tersebut memberikan gambar, menampilkan cermin besar tentang keadaan alam sekitar kita atau lingkungan kita. Dan saya pun berharap agar puisi-puisi tersebut tidak hanya dibaca oleh para penyairnya saja, tetapi mampu pula dipahami oleh para petinggi, para penentu kebijakan, terutama yang sangat dekat dengan persoalan alam sekitar atau lingkungan agar setiap keputusan setiap kebijakan mereka tidak terkepung oleh kepentingan-kepentingan yang berakibat fatal terhadap pelestarian dengan segala macam manfaat positifnya. Kemudian saya ikut memberikan dorongan bila ada seorang guru, banyak guru, sekelompok guru, dimana pun berada bertulus hati membawa buku tersebut ke dalam kelas dan memaparkan bahwa ada banyak puisi di dalamnya yang menuliskan, yang membicarakan, yang menyuarakan masalah alam sekitar atau lingkungan.

Terkadang saya heran juga dengan dunia pendidikan kita, setelah sekian lama diberikan pemahaman tentang pentingnya sikap positif untuk melestarikan alam sekitar atau lingkungan, masih saja banyak keputusan dan kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan positif itu. Dengan berbagai alasan, terutama yang bersifat ekonomis dan politis, sementara persoalan-persoalan keberlangsungan hidup manusia secara damai dan jauh dari bencana tetap saja terabaikan. Mungkin sudah saatnya kita memikirkan dan memulai langkah-langkah nyata yang bersifat non-ekonomi sebagai landasan fundamental dalam setiap keputusan dan kebijakan yang dilakukan oleh para penentu keputusan atau penentu kebijakan itu. Bila tidak sekarang, maka nyakinlah bahwa bencana alam dan kerusakan alam itu akan menjadi tontonan yang biasa-biasa saja, tanpa mampu lagi memberikan keharuan, kepiluan, kesedihan, karena sudah dianggap biasa-biasa saja. Dan pernahkah terpikir oleh para penentu keputusan dan kebijakan itu bahwa bila datang bencana, bila hadir sengsara yang diakibatkan oleh alam sekitar atau lingkungan itu, saudaranya juga yang menderita, saudaranya juga yang merana, saudaranya juga yang terperangkap dalam jebak-jebak, bahkan anak dan cucu mereka juga yang terkepung di dalam duka-lara.. Oh, alangkah celaka.

Persoalan alam sekitar atau lingkungan tentu tidak hanya terdapat pada buku kumpulan puisi itu, tetapi telah banyak para penyair yang menuliskannya. Nah, pertanyaannya adalah, sampai separah apakah pikiran orang-orang yang seharusnya bersikap membela upaya-upaya pelestarian tetapi malah sebaliknya berbuat sekuat-kuatnya agar alam sekitar atau lingkungan itu menjadi hancur, dan ini sebuah sistem. Sistem penghancur yang mengacu kepada cara kerja mesin. Mesin tanpa hati, tanpa nurani, tanpa perasaan. Hal-hal yang bersinergi dengan hati nurani dan perasaan adalah kebudayaan, dalam hal ini kesenian. Bila saja nilai-nilai kesenian itu telah ‘dibuta dan ditulikan’ maka yang tampak adalah lahirnya produk-produk keputusan dan kebijakan yang juga bersifat ‘dibuta dan ditulikan’. Apakah kalian mendengar, wahai ?





ARUH SASTRA DI BARABAI PERLU ANGKAT HASANAH LOKAL


Oleh: Hamami Adaby
(Penulis Puisi, Cerpen, sesekali naskah Film/Mamanda, tinggal di Banjarbaru)

Aruh Sastra VII yang telah berlangsung di Tanjung sudah lulus dari jerat tanggung jawab sebagai pelaksana seperti halnya daerah lainnya; Kandangan, Amuntai, Balangan, Marabahan. Begitu juga di daerah; Kotabaru, Tanah Bumbu, dan Tanjung, yang penulis secara langsung ikut sebagai peserta termasuk dalam rombongan Kota Banjarbaru.

Ketujuh daerah di atas yang disebutkan telah berhasil melaksanakan hajat haulan aruh sastra, yang kalau kita maknai kata aruh yang berarti menjamu besar-besaran para undangan yang datang dari daerah-daerah ke tempat haulan tersebut. Di mana tersedia fasilitas penginapan; rumah-rumah atau gedung sekolah, dengan alas kepala tidur seadanya dan berkelompok sampai 25 orang dalam satu ruangan, yang sudah menjadi biasa, hingga semalaman melek tidur sejenak.

Membaca catatan Ali Syamsudin Arsi mengenai Aruh Sastra Tanjung 26 – 28 November 2010 (Radar Banjarmasin, 5 Desember 2010: 5), cukup menggelitik sekaligus mengetuk pintu hati seniman/sastrawan untuk turut urun rembug menyongsong aruh sastra berikutnya, dalam tulisan tersebut dapat ditarik satu kesimpulan yang menarik tentang gambaran keberhasilan atau tidaknya pengelolaan acara aruh sastra dalam pelaksanaannya.
Ada beda-beda tipis dalam acara yang pernah dilaksanakan sebelumnya, gelar puisi spontan dari peserta dari antologi, lomba teater ditandingkan, seperti di Tanjung sebelum aruh bermula didahului dengan lomba menulis puisi dan cerpen bahasa Banjar yang kemudian hasilnya dibukukan dalam antologi yang menjadi cenderamata bagi masing-masing peserta.

Aruh Sastra Tanjung menampilkan seni tradisional dengan lomba basyair dan madihin, salut jempol buat panitia dalam gelar tersebut yang dilaksanakan di Taman Tanjung malam Sabtu 26 November 2010 sekaligus sebagai acara pembukaan aruh sastra oleh Bupati Tabalong H. Rachman Ramsyi serta sambutan gubernur yang disampaikan Kabid Kebudayaan dan Kesenian mewakili Kadis Porbudpar Provinsi Kalsel (Yusirwan Bangsawan), suasana malam cukup mendukung hingga berakhir sukses.

Meskipun pada gelar baca puisi siang hari di tempat sama kurang mendapatkan perhatian karena situasi tak mendukung, yang semestinya lebih bagus dan elok pada malam hari, ditambah dengan kejaran waktu karena ada seminar Kesenian, Bahasa Banjar dan Sastra Daerah yang juga dilaksanakan secara bersamaan.

Dari pelaksanaan ketujuh daerah tersebut perlu kita catat, bahwa aruh sastra harus memberi nilai tambah pada daerah yang menjadi tempat pelaksanaannya; seperti dalam pariwisata yang diharapkan berkembang, menggali cerita rakyat yang tumbuh berakar di masyarakat, dan menghidupkan kesenian tradisional, basyair, mamanda, lamut, madihin, dan lainnya.

Sebelum hari H acara pelaksanaan, seperti Aruh Sastra VII Tanjung melaksanakan lomba tulis puisi dan cerpen bahasa banjar, yang juga seharusnya diikuti agar bagaimana cerita rakyat terangkat kepermukaan, mengenalkan sastra ke sekolah dasar dan menengah sebagai sosialisasi dalam rangka menyambut aruh sastra yang dilaksanakan di kota mereka, namun sampai hari ini masih stagnan merangkak jalan di tempat atau sebagaimana ungkapan Ali Syamsudin Arsi, “seberapa besar antusias peserta didik dalam “bersastra” atau sejauh mana motivasi guru terlibat dan disampaikan ke peserta didik”, mari kita sama-sama memaknainya agar ke depan aruh sastra dapat menjadi kebanggaan seluruh masyarakat yang menjadi tempat pelaksanaannya..
Atau paling tidak 1 (satu) atau 2 (dua) bulan sebelum hari H pelaksanaan mulai gencar dalam menyambut gebyar aruh sastra dan diharapkan setelah selesai aruh kegiatan terus dilaksanakan mungkin secara berkala 3 bulan sekali penampilan ringan, diskusi sastra, gelar sastra, gelar teater baik modern maupun tradisional, temporer hingga generasi muda merasa terpanggil untuk melestarikan kesenian tradisional dan membangkitkan daya cipta dan membuat karya.

Satu hal yang harus saya lontarkan pada panitia terutama pada aruh yang akan datang, khususnya Kota Barabai, diharapkan tidak terulang lagi peserta atau rombongan tiap kabupaten seperti terisolasi, terkurung dalam ruang hampa, komunikasi verbal terputus seperti asing satu kelompok dengan kelompok lain, tak saling bersapa, namun dapat diarahkan dalam suasana face to face comunication agar tercipta suasana yang penuh keakraban dan terjadinya pertukaran ide dan gagasan dengan santai. Hal ini sebenarnya bisa teratasi dengan satu jamuan, makan bersama (presmanan sederhana) di suatu tempat (gedung/ruang) yang dapat menampung atau di lapangan terbuka (taman), paling tidak satu kali dalam acara makan pagi atau siang.

Begitu juga dalam hal penerimaan tamu, pelaksanaan aruh berikutnya harus memikirkan bagaimana setelah lapor sekretariat panitia harus ada pemandu ke lokasi inap, paling tidak ada bagian penyambut tamu supaya tak terjadi benturan, disiapkan pemandu khusus, masing-masing kabupaten didampingi minimal 1 (satu) pemandu.

Tentu untuk mencapai klimaks, akuratisasinya perlu didukung dana memadai daerah masing-masing, jauh sebelum hari H, fasilitas anggaran sudah turun jelas agar planning ke depan bisa terlaksana dengan lancar, juga transparansi panitia yang menyangkut planning, organizing, actuiting dan controlling berjalan dengan semestinya.

Saya garis bawahi dari ketujuh daerah yang telah lulus uji materi aruh sastra sangat bervariabel tingkat akuratisasinya, di sana-sini perlu dibenahi bersama. Aruh Sastra VII Tabalong patut diapresiasi, terutama salut buat Lilis MD (dra.) dan sekretaris Bambang Rukmana yang telah kerja keras bersama jajarannya hingga berakhir selamat dalam pelaksanaan aruh sastra di Tanjung.

Aruh sastra VIII tahun 2011 yang akan dilaksanakan di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Barabai, kota apam, harapan saya harapan kita semua, Barabai pasti mampu berinovasi, berdikari, dan mandiri mencari sisi-sisi tepi yang harus diangkat ke permukaan jadi trade mark, harapan kita bersama setelah terbentuknya kepanitiaan bekerja semaksimal mengayomi teman-teman menuju perhelatan akbar ini, apakah mau seperti Jambi dalam pelaksanaan Temu Sastrawan Indonesia atau menjadi diri sendiri. Pilihlah menjadi diri sendiri! Mengangkat hasanah lokal; Barabai. Vita brevis ars longe.