jangan babisabisa mun kada tahu


Rabu, 10 Agustus 2011

ALAM SEKITAR DI MATA PENYAIR KALSEL


Oleh: Ali Syamsudin Arsi

Di buku kumpulan puisi Tarian Cahaya di Bumi Sanggam, menampakkan data yang cukup menarik diperhatikan adalah puisi-puisi bertema ‘alam sekitar atau lingkungan’. Buku yang digagas berdasarkan pelaksanaan akbar Aruh Sastra Kalimantan Selatan ke-5 tahun 2008 di Kabupaten Balangan, dan kota Paringin sebagai tempatnya semua rangkaian kegiatan. Menarik untuk ditelisik, buku setebal 260 itu menampung 86 penulis dengan 187 puisi. Dari jumlah itu terlihat ada 76 puisi bertema atau mengandung tafsiran alam sekitar atau lingkungan yang diciptakan oleh 50 orang penulis.

Menurut telisik saya, tema alam sekitar atau lingkungan dimaksud adalah adanya keterkaitan kata-kata beridentifikasi alam sekitar atau lingkungan di dalam puisi tersebut. Kata-kata beridentifikasi itu (1) ada yang secara utuh sejalan dengan tema alam sekitar atau lingkungan, dan (2) sebagai metafor atau idiom-idiom yang dapat saja menghadirkan tafsiran lain, selain makna denotasinya.

Data yang saya dapat sejumlah puisi dengan kandungan tema alam sekitar atau lingkungan tersebut adalah sebagai berikut: Selepas dari hutan (Taufiq Ht), Ketika aku berjalan menembus hutan; Ketika aku berjalan menyusur sungai; Ketika aku berjalan menyisir pantai (Tarman Effendi Tarsyad), Biografi kayu gelondongan; Biografi deru mesin; Biografi sungai mengalir (Tajuddin Noor Ganie), Wajah (Syafiqotul Machmudah), Tentang aku dan sajak (Sandi Firly), Sketsa (Rosydi Aryadi Saleh), Sajak pembebasan; Berlari bersama angin (Robby Syachra), Sebab hujan adalah pertemuan kita (Ratih Ayuningrum), Dulu aku pernah melukis langit (Rahmiyati), Raja gundul; Nyanyian hutan larangan (R. Syamsuri Saberi), Kepada kawan segenggam pasir; Kembang hidupku (Oka Miharja S), Dari puncak gunung hauk kulihat dia (Murjani Hasan), Laskar embun; Buram (Misbah Munir Akhdy), Gerimis kehidupan (Muhammad Noor), SOS kalimantan selatan; Hutan di mataku; Reportase dari kaki pegunungan meratus (Micky Hidayat), Jadikan kuda sumbawa (Meylida Mayangsari), Di batas laut saijaan; Gunung batu aji (Mas Alkalani Muchtar), Alia cikini 702; Dalam malam Jakarta (Maman S. Tawie), Duka meratus (M. Sulaiman Najam), Jamban (M. Nahdiansyah Abdi), Setelah pagi tiba (Lilies MS), Pada kerinduan (Isuur Loeweng S), Kenalkan laut padaku; Pada keasinan yang sama; Sebelum kau datang (Imra’atul Jannah), Amsal sebatang pohon; Balangan (Ibramsyah Amandit), Diam-diam berubah menjadi (Hudan Nur), Ritus meratus (Hardiansyah Asmail), Putihnya harap (Hamami Adaby), Potret ayah (Haliem Kr), Terbujur-halang menahan rindu; Gunung, laut, dan lelaki; Kerikil logam api (Hajriansyah), Sungaiku (H. Rizhanuddin Rangga), Kau jangan latah (Fitri Yani), Tuhan; Darah impian (Fahrurraji Asmuni), Sebuah mimpi (Fahmi Wahid), Sajak tentang bunga (Embeka), Sebelum halimun (Eko Suryadi WS), Karang bolong dini hari (Eddy Wahyudin SP), Persembahanku (Dwi Upayani), Salju turun di senja martapura; Bougenville (Dewi Alfiani), Loksado; Potret kehilangan (Burhanuddin Soebely), Sebuah dangau di tengah telaga; Dari tanganmu bunga-bunga berdaun kematian (Aspihan N Hidin), Reruntuhan pagi; Reruntuhan hujan (Arsyad Indradi), Aku menyimpan laut; Langgam bumi sanggam (Ariffin Noor Hasby), Lautku (Andi Jamaluddin Ar Ak), Surat putih seberang selat (Ali Syamsudin Arsi), Tadarus ombak (Aliman Syahrani), Menunggu hujan tumpah dalam puisiku (Abdurrahan el-Husaini), Gundah (A. Tajuddin Bacco), Jemari lembut; Gundah (A. Syarmidin), Nature in destruction; Surat cinta (A. Rahman al-Hakim), Episode perjalanan; Di dermaga Margasari suatu siang (A. Kusairi).

Sederet daftar puisi yang saya tulis berdasarkan judulnya di atas sebenarnya dapat saja tidak sebanyak itu bila ditelisik berdasarkan tema dengan penekanan ‘harus’ masalah alam sekitar atau lingkungan karena sejumlah puisi yang secara utuh membicarakan atau dengan sengaja bertemakan alam sekitar atau lingkungan masih dapat dipilah lagi darinya. Hanya saja ada kecenderungan, walau hanya berupa kelompok kata atau sebaris kata-kata atau pun hanya sebait, saya katagorikan (sementara) bahwa puisi itu mengandung ‘nilai-nilai alam sekitar atau lingkungan’. Sebagai contoh coba kita simak puisi pendek yang berjudul Tentang Aku dan Sajak, karya Sandi Firly sebagai berikut: semalam,/ aku bercakap-cakap dengan gerimis/ tentang aku ingin menggores kata-kata/ tentang kata-kata ingin menggores sajak/ tentang sajak ingin menggores aku/ kadang aku mencoret kata-kata/ kadang kata-kata mencoret sajak/ kadang sajak mencoret aku/ semalam,/ aku bercakap-cakap dengan gerimis/ bisakah aku berumah dalam kata-kata? /// Dalam tema besarnya jelas sekali bahwa puisi itu tidak bicara tentang alam sekitar atau lingkungan. Yang menjadi penguat sebagai metafor alam hanya terwakilkan oleh kata ‘gerimis’, tetapi ternyata suasana puitis itu lahir dari peristiwa ‘aku lirik’ dengan ‘gerimis’. Kata ‘gerimis’ di sini mampu menghadirkan suasana keragu-raguan ‘aku’ penulis terhadap kemampuan ‘kata-kata’ pun terhadap kedahsyatan ‘sajak’. Rangkaian baris ‘aku bercakap-cakap dengan gerimis’ yang kemudian dilakukan lagi pada bagian akhir sebagai bentuk pengulangan selengkapnya adalah juga sebagai penanda bahwa baris itu menjadi penting. Pada tataran semacam ini, nilai-nilai alam sekitar atau lingkungan hanyalah sebagai tema kecil saja, dan secara keseluruhan ia menjadi satu kesatuan dengan tema yang lebih besar dalam konteks puisi secara utuh.

Sangat jauh berbeda bila kita baca puisi yang berjudul SOS Kalimantan Selatan, karya Micky Hidayat (maaf karena cukup panjang, saya nukil 2 bait saja): … Maka terimalah pelampiasan dendam kesumatku: bumi Kalimantan Selatan beserta seluruh isinya ini akan kutenggelamkan dan kuredam sedalam-dalam hingga lenyap dari peta negeri beribu pulau ini. Maka terimalah laknat dan azabku: semua desa dan kota kusirnakan sesirna-sirnanya jangan pernah kalian cari lagi di mana geografi kabupaten Kotabaru, Tanah Bumbu, Tanah Laut, Tabalong, Hulu Sungai Utara, Balangan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Tapin, Banjar, Barito Kuala, Kota Banjarbaru dan Banjarmasin. Semuanya kuhabiskan dan lenyap tanpa sisa – hilang dari peta kemanusiaan. // Terimalah gelegak air bah amarahku ini sebagai tumbal dan ganjaran atas keserakahan, kerakusan dan kesewenang-wenangan manusia memerlakukan keseimbangan dan kelestarian alam ini. Segalanya kulumatkan, kululuh-lantakkan, kuhancurleburkan !// …

Saya tidak mengatakan bahwa sederet puisi-puisi itu dalam pembicaraan baik atau tidak baik berdasarkan nilai-nilai sebuah puisi. Saya hanya ingin mengungkapkan bahwa betapa seriusnya para penulis dalam buku kumpulan puisi tersebut menyuarakan isi hatinya, respon positifnya, tanggapannya, pikiran-pikiran kritisnya terhadap pentingnya kelestarian alam sekitar atau lingkungan sebagai tempat tinggal. Semua itu adalah bukti nyata bahwa para penulis puisi yang boleh jadi disebut juga sebagai penyair telah memberikan sumbangan besar terhadap keberlangsungan pembangunan di tanah tercinta ini. Dengan cara dan ungkapan estetisnya pula para penyair Kalimantan Selatan, yang dalam hal ini termuat dalam buku tersebut memberikan gambar, menampilkan cermin besar tentang keadaan alam sekitar kita atau lingkungan kita. Dan saya pun berharap agar puisi-puisi tersebut tidak hanya dibaca oleh para penyairnya saja, tetapi mampu pula dipahami oleh para petinggi, para penentu kebijakan, terutama yang sangat dekat dengan persoalan alam sekitar atau lingkungan agar setiap keputusan setiap kebijakan mereka tidak terkepung oleh kepentingan-kepentingan yang berakibat fatal terhadap pelestarian dengan segala macam manfaat positifnya. Kemudian saya ikut memberikan dorongan bila ada seorang guru, banyak guru, sekelompok guru, dimana pun berada bertulus hati membawa buku tersebut ke dalam kelas dan memaparkan bahwa ada banyak puisi di dalamnya yang menuliskan, yang membicarakan, yang menyuarakan masalah alam sekitar atau lingkungan.

Terkadang saya heran juga dengan dunia pendidikan kita, setelah sekian lama diberikan pemahaman tentang pentingnya sikap positif untuk melestarikan alam sekitar atau lingkungan, masih saja banyak keputusan dan kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan positif itu. Dengan berbagai alasan, terutama yang bersifat ekonomis dan politis, sementara persoalan-persoalan keberlangsungan hidup manusia secara damai dan jauh dari bencana tetap saja terabaikan. Mungkin sudah saatnya kita memikirkan dan memulai langkah-langkah nyata yang bersifat non-ekonomi sebagai landasan fundamental dalam setiap keputusan dan kebijakan yang dilakukan oleh para penentu keputusan atau penentu kebijakan itu. Bila tidak sekarang, maka nyakinlah bahwa bencana alam dan kerusakan alam itu akan menjadi tontonan yang biasa-biasa saja, tanpa mampu lagi memberikan keharuan, kepiluan, kesedihan, karena sudah dianggap biasa-biasa saja. Dan pernahkah terpikir oleh para penentu keputusan dan kebijakan itu bahwa bila datang bencana, bila hadir sengsara yang diakibatkan oleh alam sekitar atau lingkungan itu, saudaranya juga yang menderita, saudaranya juga yang merana, saudaranya juga yang terperangkap dalam jebak-jebak, bahkan anak dan cucu mereka juga yang terkepung di dalam duka-lara.. Oh, alangkah celaka.

Persoalan alam sekitar atau lingkungan tentu tidak hanya terdapat pada buku kumpulan puisi itu, tetapi telah banyak para penyair yang menuliskannya. Nah, pertanyaannya adalah, sampai separah apakah pikiran orang-orang yang seharusnya bersikap membela upaya-upaya pelestarian tetapi malah sebaliknya berbuat sekuat-kuatnya agar alam sekitar atau lingkungan itu menjadi hancur, dan ini sebuah sistem. Sistem penghancur yang mengacu kepada cara kerja mesin. Mesin tanpa hati, tanpa nurani, tanpa perasaan. Hal-hal yang bersinergi dengan hati nurani dan perasaan adalah kebudayaan, dalam hal ini kesenian. Bila saja nilai-nilai kesenian itu telah ‘dibuta dan ditulikan’ maka yang tampak adalah lahirnya produk-produk keputusan dan kebijakan yang juga bersifat ‘dibuta dan ditulikan’. Apakah kalian mendengar, wahai ?





Tidak ada komentar: