jangan babisabisa mun kada tahu


Rabu, 10 Agustus 2011

MEMANDANG BANJAR SEBAGAI PUSAT KEBUDAYAAN (Aruh Sastra VI Batola)


Oleh: HE. Benyamine

Hajatan tahunan sastra di Kalimatan Selatan sedang dipersiapkan pelaksanaannya. Aruh Sastra VI telah ditetapkan penyelenggaraannya di Batola sejak Aruh Sastra V Balangan, setahun berjalan, waktu yang cukup panjang untuk mempersiapkan “perjalanan menuju” menghidupkan sastra dan sekaligus membangkitkan semangat visi Banjar sebagai pusat kebudayaan; karena merupakan titik di mana tercipta dan berkembangnya budaya Banjar itu sendiri.

Aruh Sastra VI Batola terkesan masih sebagai acara tahunan yang pelaksanaannya hanya pada saat dilaksanakan acara tersebut. Pelaksana yang ditunjuk, sejauh yang dapat diketahui, terlihat tidak memanfaatkan waktu yang panjang dengan berbagai aktivitas dan gerakan dalam sastra dan budaya untuk menuju hari pelaksanaannya. Atau, aktivitas dan gerakan sastra dan budaya lebih banyak yang tersembunyi dan hanya untuk kalangan terbatas untuk mengatakan bahwa sebenarnya sastra dan budaya masih berdetak kehidupannya di banua ini.

Pelaksanaan Aruh Sastra selanjutnya perlu memikirkan bagaimana memanfaatkan waktu yang panjang hingga menjelang aruh selanjutnya, tidak hanya diserahkan pada panitia pelaksana yang ditunjuk sebagai tuan rumah, tapi melibatkan semua untuk bersama dalam gerak budaya ini, karena kegiatan ini merupakan acara tahunan yang strategis dalam membangkitkan semangat visi Banjar sebagai pusat kebudayaan bagi segala daya hidup untuk kebudayaan Banjar itu sendiri.

Banjar sebagai pusat kebudayaan bagi kebudayaan Banjar, tidak menapikkan perkembangan kebudayaan lain yang menjadi pusat sendiri bagi kebudayaan yang bersangkutan. Dalam bersikap dan bertindak, manusia Banjar harus menyadari bahwa mereka berada di pusat kebudayaan mereka sendiri, yang bangga dengan segala daya cipta dan karya yang dihasilkannya. Dengan menyatakan diri dalam dan berada di pusat kebudayaan sendiri, yang mengacu pada di mana manusia Banjar itu berdiri sebagai titik acuannya dalam memandang dunia sekitarnya dan dunia di luarnya, tentu tidak ada dan perlu lagi pertanyaan “mana karya sastra manusia Banjar yang diakui pusat (misalnya Jakarta)?” untuk menujukkan eksistensi diri.

Manusia Banjar yang tidak mengarahkan pandangannya dalam gerak Banjar sebagai pusat kebudayaan, sama saja menyatakan bahwa kebudayaan Banjar tidak patut lagi hidup atau memang sudah terhenti detak kebudayaannya, karena mereka telah hidup dan berkehidupan dengan budaya lain meskipun berada di tanah Banjar, yang selalu mengacu pada bagaimana pusat kebudayaan di luarnya memberikan pengakuan terhadap eksistensinya. Dalam hal ini, meminjam ungkapan tentang bagaiman terhormatnya seseorang yang menjadi kepala dalam bisnis kecil yang dijalankannya daripada besar dalam perusahaan besar tetapi menjadi ekor. Di sini, ada suatu kebanggaan terhadap hasil karya dan daya cipta sendiri, yang terwujud dalam bagaimana cara memandang berdasarkan semangat budaya sendiri sebagai pusat kebudayaan.

Dalam hal karya, membandingkan dengan hasil karya budaya lain memang perlu dan baik, tetapi tidak dengan menghilangkan sandaran budaya suatu karya itu tercipta atau diciptakan. Biarpun hasilnya tidak sebanding dengan perkembangan hasil karya dari budaya luar, tidak seharusnya menjadikan manusia di dalamnya lebih rendah atau merendahkan diri atas hasil karya sendiri. Perbandingan hasil karya, ataupun pengakuan dari luar, tidak lebih dari upaya penyadaran untuk terus berkarya dengan mengacu pada di mana manusia tersebut berada dalam memandang dunia di sekitar dan di luarnya.

Untuk membangkitkan semangat visi Banjar sebagai pusat kebudayaan, yang keberadaanya sudah ada dengan berbagai hasil karya kebudayaan; hanya dilanjutkan generasi berikutnya, tentu mempunyai berbagai hambatan, yang utama antara lain: (1) kesadaran pemegang kekuasaan di daerah betapa sangat pentingnya kebudayaan tidak terlihat, (2) keberpihakan elit kekuasaan untuk kegiatan budaya hanya ditunjukkan saat diperlukan untuk kepentingan sesaat, (3) kepala daerah kurang atau tidak sama sekali mau mengerti dan memahami arti penting kebudayaan bagi dasar program pemerintahannya, dan (4) pemerintah daerah tidak mempunyai pemihakan dalam anggaran untuk kegiatan budaya. Hambatan juga bisa dari kalangan yang bergerak dalam bidang kebudayaan itu sendiri, namun hambatan ini cenderung bergantung pada kesadaran pemerintah daerah.

Hambatan dari pemerintah daerah dan elit kekuasaan daerah di atas, menyebabkan kebudayaan Banjar menjadi terkendala dan bahkan bisa terhenti, yang secara tidak langsung memberikan peluang tumbuh dan berkembangnya budaya yang sangat bergantung dengan perkembangan budaya yang menjadi rujukannya. Hal ini dapat lebih berkembang pada elit kekuasaan di daerah, sehingga mereka cenderung melupakan hidup dan berkembangnya kebudayaan sendiri, seperti terlihat pada tiadanya sensitivitas terhadap bangunan pemerintah yang sangat mengacu pada arsitektur luar.

Dalam hal anggaran untuk kegiatan budaya, pemerintah daerah (provensi dan kabupaten/kota) tidak bisa diharapkan keberpihakannya, seakan kegiatan budaya tersebut tidak mempunyai hubungan penting dan bermakna dalam membangkitkan semangat dalam pembangunan dan menunjang keberhasilan program pemerintah. Elit kekuasaan daerah juga cenderung tidak peduli, jika kepala daerah berupaya memperjuangkan anggaran untuk kegiatan budaya. Jelas terlihat betapa kegiatan budaya, seperti sastra dan kesenian, tidak dapat dipahami dan dimengerti oleh elit kekuasaan sebagai bagian penting dalam gerak kemajuan. Kemungkinan besar, sebagian peserta Aruh Sastra VI Batola kurang mendapat perhatian dan bantuan fasilitas dari daerah masing-masing dalam mengikuti acara tersebut, karena alasan yang sangat tidak peka dan mengada-ngada.

Seandainya, kegiatan budaya disadari sebagai suatu kegiatan yang penting dalam pembangunan dan pemerintah merasa berkepentingan dengan kegiatan tersebut, tentu tidaklah sulit untuk membantu para peserta yang akan berangkat ke Batola (bahkan dengan uang saku) dan memberikan tugas kepada guru-guru bahasa atau mata pelajaran sastra atau muatan lokal (SD/MI – SMA/Sederajat) di daerah masing-masing melalui dinas terkait untuk mengikuti acara Aruh Sastra. Apalagi kegiatan ini diselenggarakan setahun sekali, yang tentu dapat memberikan suatu penyegaran dan pengayaan guru-guru tersebut, dengan harapan para guru tersebut termotivasi untuk membangkitkan semangat visi Banjar sebagai pusat kebudayaan yang hanya dapat diwujudkan bila terus berkarya.

Dalam upaya membangkitkan semangat visi Banjar sebagai pusat kebudayaan, manusia Banjar harus menyadari bahwa dirinya yang memandang dunia di sekitar dan di luarnya. Selama manusia Banjar menyadari bahwa dirinya yang terikat dengan budaya Banjar terus menciptakan karya sastra, maka tidak berlebihan jika dia menganggap dirinya sebagai pusat pandang dalam dunia sastra yang dihasilkannya, terlepas itu bisa diterima penerbitan di luar (seperti Jakarta sebagai pusat yang lain) atau tidak diakui sebagai karya sastra yang bermutu.

Pada Aruh Sastra VI Batola, menjadi tawaran wacana yang penting bagaimana membangkitkan visi Banjar sebagai pusat kebudayaan, karena Banjar sebagai suatu kebudayaan tentu masih diharapkan mampu terus menjadi sistem nilai budaya yang hidup dan berkembang. Sebagai pusat kebudayaan sendiri, sekecil apapun adanya, ia tetap merupakan suatu bentuk dan roh yang hidup dalam kehidupan manusia Banjar.

Jadi, sangat banyak harapan dalam hajatan Aruh Sastra, untuk terus menghidupkan budaya dan membangkitkan semangat visi Banjar sebagai pusat kebudayaan, dengan mendorong dan mendukung dalam berkarya dan berbuat dengan cara pandang sendiri, sebagai manusia Banjar yang juga mempunyai pandangan terhadap dunia. Biarlah orang luar atau manusia Banjar sendiri yang melihat adanya sinar dari tanah Banjar, redup atau terang, itulah karya dari manusia Banjar yang terus bergerak dan berproses dalam kebudayaan sendiri.

(Radar Banjarmasin, 2 Desember 2009:3)





Tidak ada komentar: