jangan babisabisa mun kada tahu


Rabu, 10 Agustus 2011

GAGASAN DARI PERISTIWA SASTRA


Oleh: Ali Syamsudin Arsi

SEKALI WAKTU saya ikut bergabung dengan Abang Erwin Dede Nugroho (Bang Erwin) yang Pemimpin Redaksi koran ini, biasanya di sana juga ada Abang Ogi Fajar Nujuli (Bang Ogi) yang di hadapanku berkapasitas sebagai Ketua Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, tidaklah berlebihan bila sekali waktu terlontar juga uneg-uneg yang telah lama ingin dikemukakan, dari banyak hal mungkin yang satu ini saya anggap paling penting, yaitu tentang sebuah upaya lebih tinggi terhadap motivasi menulis sastra di koran ini (Radar Banjarmasin): Honor, ya tidak lain soal honor. Ketika menyampaikan permohonan agar honor menulis sastra diperhatikan dengan adanya kenaikkan nilai rupiahnya, dalam hati, saya menjadi ingat kepada dangsanak Sandi Firly yang bertindak sebagai penjaga gawang dua halaman Sastra & Budaya, saya berdoa pada waktu itu, semoga Sandi dalam keadaan sehat dan sukses selalu. “Berapa sebaiknya honor menulis sastra itu ditingkatkan?”Tanya Bang Erwin mencoba (seperti) mau tahu.”Yaah, cobalah sedikit dinaikkan menjadi seratus ribu untuk sekali dimuat tulisan itu, “ jawab saya penuh harap. Dalam hati saya, sambil mengkalkulasikan semisal sepuluh kali dalam setahun kan lumayan juga jumlahnya. Jawaban yang didapat adalah,”nanti akan dibicarakan.” Saya pun berdoa, sampai sekarang, “moga saja terkabul bahkan sampai ke angka lima ratus ribu rupiah.” Ketika pulang dari begadang malam itu, di kepala saya ada kalimat, mimpi apa lagi yang hadir dari peristiwa demi peristiwa yang saya anggap sebagai salah satu peristiwa sastra, secara pribadi merupakan akumulasi keinginan untuk meramaikan dunia kecil yang bernama sastra di daerah ini atau katakan saja di kota kita masing-masing di propinsi paling selatan pulau Kalimantan. Padahal wilayah Kalimantan Selatan sangat diperhitungkan dibanding wilayah lain sepulau karena alasan jumlah pegiat sastranya, untuk kualitas pun tidaklah mengecewakan. Untuk peta kesastraan wilayah ini cukup terwakili di setiap kabupaten dan kota karena adanya orang-orang yang selalu bergairah dalam setiap kegiatan sastra.


DI WAKTU YANG LAIN ketika saya bersama M. Rifani Djamhari serta Syaefuddin menghadiri acara dengan bentangan spanduk bertulis huruf besar, DIALOG SASTRAWAN KALIMANTAN, di Samarinda pada hari Sabtu tanggal 9 Desember 2006 yang telah lewat, ada yang menarik ketika seorang pembicara memaparkan gagasannya. Gagasan itu menarik dan lumayan unik tetapi rada-rada sulit direalisasikan. Tetapi tidaklah salah bila itu pun mendapat porsi untuk disikapi bersama. Adalah sebuah usul yang dilontarkan oleh Kepala Kantor Bahasa Kaltim, agar persoalan tulis menulis sastra dan bahasa mendapat tempat di setiap penerbitan koran-koran yang ada di Samarinda atau Kalimantan Timur, dan urusan honor akan disediakan oleh pihak kantor Bahasa Kaltim. Wah, saya langsung merespon dengan senyum seraya kening berkerut, apa mungkin itu, tetapi bagus juga gagasan Anda Bung!!! Adalah Drs. Pardi, M.Hum. yang bertindak sebagai penanggung-jawab pertemuan itu sambil berdiri menawarkan sebuah kerja sama. Saya tidak memperhatikan lagi apa yang diutarakan oleh Bung Syafril Teha Noer yang dihadirkan dari unsur penerbitan (wartawan Kaltim Post). Saya lebih tersedot pemikiran tentang tawaran kerja sama itu daripada paparan untung ruginya bisnis penerbitan sebagai proses yang sangat ketat dalam persaingan. Walau saya tahu bahwa paparan Bung Syafril adalah paparan cerdas dalam bidang yang digeluti beliau yang intinya tidak jauh beda dengan alasan Sandi Firly, bahwa hanya halaman Sastra & Budaya saja yang menyediakan honor di koran Radar Banjarmasin. Sementara rubrik lain tidak sama sekali, pun untuk opini. Nah, bagaimana dengan gagasan kerja sama tadi, berbesar hatikah pihak Balai Bahasa Banjarmasin bila ada tulisan sastra dan bahasa yang terbit di koran untuk memberikan kontribusi honornya ? Besarkah pertanyaan ini, akh tidak juga, tetapi cukup melapangkan bila memang apresiasi terhadap tulisan dan penghidupan penulisnya dimulai dari honor yang lumayan besar agar pemenuhan kebutuhan penulis dapat terpenuhi. Mimpi apa lagi yang bergelantungan di ujung rambutku ketika pulang dari Samarinda itu.


WAKTU USAI MAGHRIB saya ditunggu Bapak Mugeni, Kepala Balai Bahasa Banjarmasin di sebuah tempat, sambil makan malam beliau bercerita banyak tentang komitmen balai yang dipimpin beliau dalam mengembangkan kehidupan Sastra dan Bahasa di wilayah Kalimantan Selatan ini. Saya sangat suka itu. Saya merespon positif segala upaya itu
Saya buktikan respon positif itu dengan kesediaan saya ikut bergabung menjadi pembimbing kegiatan Bengkel Sastra yang diadakan di berbagai daerah di Kalsel ini, yaitu mulai dari Rantau, Tanjung, Pelaihari, Barabai, dan Marabahan, selain di Banjarbaru dan Martapura. Sebenarnya menurut beliau gagasan untuk Dialog Sastrawan Kalimantan itu diilhami dengan adanya Aruh Sastra yang ada di wilayah kita yang setiap tahun dilaksanakan dengan tempat pelaksanaan secara bergilir dari satu kabupaten atau kota yang ada di Propinsi Kalsel. Jadi, semacam Aruh Sastra-nya Kalimantan. Wah, gagasan yang patut direalisasikan untuk tahun-tahun ke depan. Pasti ada gairah baru yang lebih besar lagi dalam dunia planet sastra kita di pulau ini. Lalu, apa siapa bagaimana dan untuk apa, itu urusan yang harus dimusyawarahkan dengan pihak-pihak lain. Dinas Pendidikan, adakah andilnya dalam hal ini. Dinas Pariwisata dan Budaya, adakah gelitik hati untuk bersanding dalam acara ini. Bagaimana dengan pemerintah propinsi atau kabupaten bahkan pemerintah kota. Hai hai. Saya melihat acara yang mulai dibangun di Samarinda itu adalah awal yang baik dan saya katakan juga bahwa saya sepakat bila itu dilanjutkan pada tahun-tahun berikutnya dengan cara berpindah tempat penyelenggaraan. Bagaimana dengan angka tahun 2007 ? Adalah sangat bagus bila mampu disinergikan dengan agenda sastra yang terjadi pada tahun depan di Kalsel. Sangat bagus bahkan.

KURUN WAKTU TAHUN 2007 tidaklah lama lagi. Pertama. Bergulirnya agenda Aruh Sastra untuk pelaksanaan yang ke-4 di Amuntai, Hulu Sungai Utara, memberikan kesan sangat dalam dan dapat dijadikan tolak ukur tentang sejauh mana geliat sastra di Kalsel ini. Kepada Bapak Harun al-Rasyid yang bertindak sebagai tokoh nomor satu di Amuntai sekarang pada agenda aruh tersebut saya menyarankan beberapa hal yang perlu dipikirkan kembali acaranya. Mata acara yang sangat menjadi perhatian saya adalah Festival Pagelaran Sastra. Saya melihatnya dari sudut yang boleh jadi berbeda dengan rekan pegiat sastra lain. Saya melihat masing-masing peserta membawa konsep pemahamannya ke atas panggung yang belum tentu sama dengan konsep yang ada di benak para juri. Apalagi semua juri berangkat dari ketidakterwakilan pada seluruh peserta. Ini bukan berarti saya meragukan kemampuan ketiga juri pada waktu itu, mereka masing-masing adalah pakar sastra yang boleh dipercaya pada bidangnya. Tetapi apakah mereka telah memahami benar tentang apa yang sedang terjadi pada saat itu. Adalah di rumah M. Rifani Djamhari saya katakan kepada salah satu unsur panitia Aruh Sastra ke-3 kemarin, begini, “berkaca dari pelaksanaan Aruh Sastra ke-2 di Pagatan, maka saya berkesimpulan bahwa para sastrawan datang ke tempat yang jauh itu, tempat diadakannya aruh itu, adalah sangat diharapkan mereka tampil, walau sekedar membaca puisi atau cerpen. Jadi, bukan yang tampil itu para penari atau para pemain drama. Sekali lagi yang ingin tampil itu adalah para Sastrawannya. Artinya, penampilan para sastrawan itu menjadi pokok acara, bukan sebagai tempelan pengisi acara di sela-sela acara lain” Boleh jadi ada yang beralasan bahwa bentuk festival pagelaran sastra itu untuk lebih melebarkan sayap ke wilayah lain, agar sastra menjadi lebih beragam cakupannya. Saya tidak menolak festival itu, tetapi formatnya yang lebih baik menurut saya tidak untuk dilombakan, tidak untuk difestivalkan, tetapi cukup untuk pengisi acara di antara acara Sastranya sendiri. Bahkan boleh saja bentuk festival itu ditiadakan sama sekali. Saya melihat kebermaknaan sastra akan lebih dekat dengan bentuk lain seperti musikalisasi puisi atau visualisasi cerpen. Oke, itu hanya sebagai masukkan kepada panitia pelaksana. Aruh Sastra adalah sebuah kerja akbar, jadi, selalu berkoordinasi dengan pihak lain adalah sebuah keharusan. Persiapannya pun tidak bisa hanya sebulan atau dua bulan, paling tidak perlu waktu 6 bulan sebelumnya, karena ada mata acara yang memerlukan waktu persiapan lebih jauh terutama publikasinya, seperti mata acara Lomba Penulisan Puisi dan Cerpen, juga Pembuatan Antologi Puisi Penyair Kalimantan Selatan. Kedua. Adanya rekomendasi dari Kongres Cerpen Indonesia di Riau yang mempercayakan kepada rekan-rekan di Kalsel sebagai tempat pelaksanaan Kongres Cerpen Indonesia pada tahun 2007 adalah sebuah agenda sastra yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Pada hal ini saya belum bisa memberikan kontribusi gagasan lebih banyak karena memang saya sendiri tidak terlibat secara langsung apa yang terjadi, walau pun ketika saya menghubungi Saudara Raudal Tanjung Banua disarankan olehnya untuk berangkat saja ke Riau nanti segala sesuatu bisa dia bantu urus di sana, tetapi aku katakan nanti sajalah. Ketiga. Apabila pihak Balai Bahasa Banjarmasin jeli melihat ini sebagai agenda sastra yang mampu memberikan warna dari kedua agenda sastra di atas maka ini harus mereka upayakan agar pelaksanaan Dialog Sastrawan Kalimantan dapat dilaksanakan di Kalimantan Selatan. Untuk agenda ini saran saya terfokus kepada para pembicara sebagai narasumber, saya katakan kepada kakawanan di Banjarbaru bahwa harus ada pembagian jumlah, yang ideal menurut saya adalah 10 orang pembicara. Empat dari tuan rumah, lalu dua pembicara dari masing-masing Propinsi tamu. Pada intinya para pembicara harus mampu menyuarakan peta sastra di masing-masing propinsi yang ada di Kalimantan, agar mampu menguak tirai-tirai sastra di masing-masing tempat, bukan seperti yang terjadi di Samarinda (Kaltim) yang pada simpulan saya adalah bagaimana cara kita (kalau tidak dikatakan mereka) untuk memajukan kesastraan di Kaltim, karena dari semua pembicara tidak ada yang menyampaikan peta sastra Kalimantan secara umum di dalam kertas kerjanya. Agenda ketiga ini kita berharap banyak, sekali lagi, agar dapat diupayakan oleh pihak Balai Bahasa Banjarmasin. Bagaimana Bapak Mugeni, saya bertanya, ketika angin berhembus pelan di ujung daun telinga dan orang-orang sedang menikmati jagung bakar di lapangan Murdjani. (Saya jadi teringat betapa nikmatnya duduk santai di Tepian Mahakam yang membentang sepanjang bantaran Sungai Mahakam di pusat kota Samarinda bersama gemerlap lampu yang memantul di permukaan sungai, bergabung juga keluarga Mugiharto Wakhmadi, S.S, keluarga yang kami tempati bertiga, sebagai kenalan kami di kota Samarinda).Keempat. Agenda ini sebenarnya sudah rutin dilaksanakan di kota Banjarbaru, yaitu Tadarus Puisi dan Silaturrahmi Sastra. Memasuki tahun 2007 ia akan menjadi tahun ke-4 pelaksanaan yang bertepatan dengan suasana bulan suci Ramadhan.Kami telah menambah mata acara Lomba Baca Puisi Islami se-Kalimantan Selatan pada tahun 2006 di bulan Oktober yang baru lewat. Sebenarnya ada satu agenda yang belum terlaksana, yang ketika saya konsultasikan dengan Ketua Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, Bang Ogi, yaitu mengundang sastrawan luar pulau Kalimantan, dan saya sudah kontak rekan penyair Acep Zamzam Noor, redaktur budaya Ahmadun Y Herfanda serta rekan Hasif Amini, tetapi maaf rencana ini belum dapat terlaksana. Moga saja di lain waktu dapat terwujud, mimpi itu perlu walau untuk mewujudkannya haruslah pula berkaca kepada realita.


Waktu pun bergulir dan terus bergulir, tidaklah mampu dibendung, bahkan oleh kita sendiri. Karena barang siapa yang dapat mengikuti irama dari pergerakkan arus waktu itu maka yakinkan saja ia akan dapat menemukan muara-muara yang membahagiakan baginya atau juga bagi orang lain. Nah, bila di waktu yang berangka tahun 2007 dapat kita laksanakan agenda sastra seperti yang saya tuliskan di atas maka Kalimantan Selatan boleh saja menjadikan tahun itu sebagai Tahun Sastra. Tentu saja kita tidak boleh mengabaikan agenda-agenda sastra lain, seperti rutinnya Lomba MusikalisasiPuisi di STIKIP PGRI Banjarmasin, Bengkel Sastra oleh Balai Bahasa Banjarmasin, SSSI di (tiga kota: Banjarmasin, Martapura dan Kotabaru). Lalu saya menatap kepada Bang Erwin dan Sandi, dalam hatiku, terkabul jugakah tawaranku seperti tawaran rekan-rekanku yang lain tentang kenaikkan honor itu.Ataukah kita atur bersama-sama, karena alasan kualitas tulisan sangat berperan di dalamnya? Malam telah larut,saya pulang ke rumah, tertangkap serpih-serpih embun di daun pintu, pagi hampir tiba menyeruak dan kita membawa harapan masing-masing di telapak tangan terbuka tengadah. Hanya kepada Tuhan permohonan demi permohonan di panjatkan, tetapi jika boleh menawarkan maka itulah tawaran yang paling mulia untuk dapat memulai ke arah yang lebih baik. Demi kita semua. Amin.

Tidak ada komentar: