jangan babisabisa mun kada tahu


Rabu, 10 Agustus 2011

Safari Sastra di Barabai


Oleh: Ali Syamsudin Arsi

Memberdayakan para sastrawan dalam sebuah agenda adalah sesuatu yang wajar dan memang pada tempatnya untuk dilakukan.

Di setiap kota atau tempat-tempat tertentu, di Kalimantan Selatan mempunyai tokoh-tokoh sastrawannya masing-masing, dan itu hampir merata. Di Kotabaru ada sastrawan H.M.Sulaiman Najam, Eko Suryadi WS, di Tanah Bumbu ada Andi Jamaludin Ar Ak, Abdul Karim ‘Oka Miharja’, di Pelaihari ada Jamal T Suryanata, di Martapura ada Abdurrahman El-Husaini, Fitran Salam, Arya di Banjarbaru ada Arsyad Indradi, Hamami Adaby, Eza Thabry Husano, Arifin Noor Hasby, Harie Insani Putra, Isuur Loeweng, Rahmatiah, Zurriyati ‘Sysy’ Rosydah, M. Nahdiansyah Abdi, di Banjarmasin ada Micky Hidayat, YS Agus Suseno, Tajuddin Noor Ganie, Tarman Effendi Tarsyad, Maman S. Tawie, Rosidi Aryadi Saleh, H.Adjim Arijadi, Syamsiar Seman, Abdus Syukur MH, Rudi Karno, Zulfaisal Putra, Hajriansyah, Hamberan, di Marabahan ada Ibramsyah Amandit, Rock Syamsuri, Sarkian Noor Hadie, Aspihan N. Hidin, di Rantau ada Antung Kusairi, Bram Lesmana, di Kandangan ada Burhanuddin Soebly, Aliman Syahrani, M. Fuad Rahman, M. Radi, di Barabai ada Fahmi Wahid, Taberi Lipani SR, di Amuntai ada Fahrurraji‘Abkar Raji’ Asmuni, Hasby Salim, Sudarni, Harun Al Rasyid, di Tanjung ada Tajuddin A. Bacco, Lilies MS, Jauhari Effendi, Jaka Mustika. Masih banyak lagi yang lain bila dituliskan seluruhnya, tetapi paling tidak mereka itu sudah dapat mewakili daerahnya masing-masing.

Saya sarankan, ada satu mata acara pada Aruh Sastra VIII di Barabai yang akan datang itu, para sastrawan yang hadir sebagai undangan dimobilisasi untuk dapat masuk ke sekolah-sekolah yang ada di seluruh wilayah HST (paling tidak di dalam kota Barabai). Katakanlah satu sekolah dihadirkan 5 sampai 10 sastrawan. Kalau ada 100 sastrawan yang hadir maka ada 10 atau 20 sekolah yang dikunjungi. Bila pelaksanaan aruh itu hari Jumat sampai Minggu, maka katakanlah pada hari Sabtu pagi pukul 09.30 sampai 10.30 para sastrawan yang sudah dibagi oleh panitia langsung berangkat atau dijemput oleh pihak sekolah masing-masing. Selama waktu yang disediakan itu pihak sekolah boleh jadi diperkenankan untuk melaksanakan sesuai dengan keinginan sekolah, atau paling tidak mempertemukan para sastrawan itu secara missal ‘bertatap muka, berdialog, berdiskusi, mengadakan tampilan-tampilan atau apa saja’ kepada para siswa dan tentu saja kepada para guru seluruhnya. Adopsi agenda seperti ini pernah dilakukan oleh jajaran Majalah Horison beberapa waktu yang lewat, dan kita terapkan dalam skala kecil serta waktu yang disesuaikan dengan jadwal aruh secara keseluruhan.

Pada agenda seperti di atas sangat jelas bahwa para sastrawan bukan datang untuk menyaksikan, tetapi kehadirannya ditunggu oleh para siswa, oleh para guru, oleh para kepala sekolah. Mobilisasi ini akan lebih efektif dan langsung dirasakan karena saya yakin bahwa ‘tuan rumah yang dikunjungi oleh para tamu (sastrawan) akan mempersiapkan segala sesuatu agar semua pihak merasa nyaman, lancar dan saling memberikan manfaat’. Honor dari panitia kepada setiap sastrawan, misalnya seratus ribu rupiah, apalagi nanti pihak sekolah menyiapkan anggaran tersendiri. Tentu saja koordinasi seperti ini tidaklah mudah, tetapi bila dipersiapkan sejak dini dan komitmen bahwa ini bagian dari mata rantai perjalanan proses pendidikan maka akan menemui kemudahan. Para sastrawan datang ke arena aruh sastra menjadi berfungsi dan bermakna, tentu dengan membawa kesan masing-masing. Panitia tentu mempersiapkan agenda ini dengan kata kuncinya pada akurasi koordinasi yang tinggi, energi yang besar akan dibagi kepada setiap sekolah yang menerima kedatangan para sastrawan tersebut. Dan itu harus dimulai sejak sekarang. Tidak dapat menunggu, pihak panitia adalah yang memegang inisiatif pertama agar mampu disambut dengan suka-cita oleh sekolah-sekolah. Koordinasi yang bersifat kemitraan ada pada Dinas Pendidikan sebagai tawaran agenda, setelah itu menentukan bersama langkah-langkah berikutnya. Pertanyaannya, “Bersediakah pihak Dinas Pendidikan membukakan pintu untuk kemitraan semacam ini?” Bila pihak Dinas Pendidikan telah bersedia dan melapangkan jalan dengan tidak lupa ‘menugaskan orang-orangnya’, maka pertanyaan berikutnya adalah, “Sebesar apa keseriusan pihak sekolah-sekolah mempersiapkan dirinya, siswanya, guru-gurunya, kepala sekolahnya untuk menerima, merencanakan agenda, agar anjang sana para sastrawan itu termanfaatkan secara maksimal dalam waktu yang sangat terbatas, mungkin hanya berkisar 1 sampai 2 jam saja?” Tentu saja pihak sekolah dapat bernegosiasi kepada pihak panitia tentang materi dan segala sesuatu, tetapi untuk meringankan kerja panitia aruh maka alangkah eloknya pihak sekolah membentuk sendiri panitia kecil dalam lingkupnya masing-masing. Ini masalah seting acara, bahkan sampai kepada masalah mobilisasi para sastrawan, dari satu tempat lalu menyebarkannya, pihak sekolah dapat saja menyiapkan sendiri alat transfortasi masing-masing, tetapi diupayakan waktu atau dalam jam yang sama dan kembali pada waktu yang sesuai dengan penjadwalannya.

Bila agenda ini dapat dilaksanakan maka akan sangat besar manfaat yang didapat, sastrawan akan melihat dan merasakan langsung bahwa ‘benar kemitraan serta koordinasi’ itu ada. Sekarang, “Apakah pihak panitia akan bersedia melaksanakan agenda ini dengan serius atau akan ada alasan-alasan yang sebenarnya hanya ingin melepaskan diri yang disebabkan oleh kekakuan-kekakuan dalam kepanitiaan saja, misalnya dengan mengemukakan bahwa, “Wah, kami harus sesuai dengan yang namanya ‘juklak’ itu saja, kami tidak dapat lagi melaksanakan yang di luar dari yang sudah tertulis dalam berkas-berkas permohonan.” Dan bla bla bla bla, wuuuhhh, sangat disayangkan. Bermitra, tentu saja bukan kerja yang dilakukan sendirian.

Pada satu bagian, agenda yang lain adalah penetapan undangan kepada para guru dan siswa plus kepala sekolah dengan undangan langsung agar dapat menghadiri seminar utama yang biasanya menghadirkan pembicara dari luar Kalsel. Undangan pada agenda ini harus melibatkan Dinas Pendidikan dan sewajarnyalah Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Hulu Sungai Tengah mendapat waktu untuk bicara, entah pada mata acara ‘kata sambutan’ atau ada sesi ‘pemandangan umum’. Teknis semacam ini akan memberikan efek mendalam dan tidak akan mengurangi ‘suasana sastra’ itu sendiri.

/asa, banjarbaru desember 2010



Tidak ada komentar: