jangan babisabisa mun kada tahu


Rabu, 10 Agustus 2011

PENJURIAN ALA PERKONCOAN (Tanggapan Tulisan Jamal T. Suryanata)


Oleh: HE. Benyamine

Membaca tulisan Jamal T. Suryanata (Media Kalimantan, 12 Januari 2011: B5), yang dapat dianggap sebagai tanggapan dewan juri terhadap kontroversi dugaan plagiat salah satu nominasi Lomba Cerpen Bahasa Banjar Aruh Sastra 2010, terlihat adanya kebesaran jiwa dan ketegasan terhadap tindakan plagiat yang diungkapkannya dengan, “(benar, ini masalah serius, Saudaraku!)”, serta pernyataan yang berani mengambil tanggung jawab sebagai pihak yang paling berdosa jika kasus plagiat tersebut terbukti benar.

Paparan Jamal T. Suryanata dalam tulisannya secara gamblang dan terbuka mengenai proses penjurian, yang sebenarnya tidak perlu dinyatakan dengan ungkapan “Tak Ada Gading yang Tak Retak” untuk menggambarkan ketidaksempurnaan para juri, karena masalah plagiat tidak berakar dari ketidaksempurnaan dewan juri namun berhubungan dengan kepribadian seseorang dan bagaimana lingkungannya apakah membiarkan atau mencegahnya. Masalah ketidaksempurnaan sudah inheren ada pada setiap manusia, yang sudah menjadi kesadaran umum.

Pengakuan (tulisan JTS) ketidaksempurnaan dewan juri dapat dianggap sebagai kebesaran jiwa juri, namun tidak menghilangkan kasus dugaan plagiatnya dan menganggapnya menjadi selesai. Apalagi dianggap sudah cukup untuk mengakhiri kontroversi berdasarkan pengakuan dewan juri itu (Media Kalimantan, 13 Januari 2011: B5), yang sebenarnya membuat semuanya menjadi mengambang, terutama bagi pengarang yang diduga sebagai plagiator. Kontroversi itu akan terus muncul jika tidak diselesaikan secara tegas, dan jika dianggap selesai dengan pengakuan dewan juri itu malah lebih mengarahkan situasi yang sifatnya tidak produktif.

Sebenarnya menarik apa yang dikemukakan JTS dalam tulisannya berkenaan dengan proses penjurian, yang dianggapnya sebagai 2 kali ketol... (maaf katanya tak utuh), yaitu bagaimana kecenderungan juri pada cerpen peserta lomba yang lebih melihat siapa pangarangnya meskipun nama pengarangnya sudah dihapus dalam naskah cerpen-cerpen peserta lomba. Kecenderungan juri pada orang yang dikenalnya, seperti pada kasus dugaan plagiat ini, yang terpaku pada Seroja Murni dengan harapan cerpen itu saduran oleh yang bersangkutan lalu kemudian nama pengarangnya adalah nama samaran, menunjukkan tidak profesionalnya juri dan adanya pemihakan.

Kecenderungan juri yang diungkapkan tersebut dapat merendahkan semua nominasi peserta Lomba Cerpen Bahasa Banjar Aruh Sastra 2010, karena bisa saja hal tersebut juga berlaku pada semua nominasi yang juga berdasarkan kecenderungan kepada seseorang tersebut. Hal ini sangat membuat Aruh Sastra yang sudah 7 kali penyelenggaraannya, setingkat propinsi, seperti lomba perkoncoan saja, yang benar-benar merendahkan hajatan aruh. Apalagi, TJS sepertinya masih ada sebersit keyakinan bahwa pengarang Kada Bakasudahan tersebut adalah Seroja Murni sendiri, yang dapat dilihat dari “(jika ia memang bukan Seroja Murni)”.

Di samping itu, JTS dalam tulisannya secara tidak langsung sebenarnya sudah menyatakan cerpen Kada Bakasudahan merupakan hasil plagiat dari cerpen Karindangan, namun masih tidak terlihat adanya keputusan dewan juri dalam menyelesaikan kasus dugaan plagiat tersebut, mungkin tulisan tersebut merupakan pendapat pribadi. Padahal, dewan juri dapat membuat keputusan tegas terhadap nominasi yang dinyatakan sebagai hasil plagiat, misalnya dengan membatalkannya. Meskipun JTS juga menghimbau dan berharap kepada pengarang cerpen Kada Bakasudahan untuk membuat pengakuan tertulis dan meminta maaf jika memang merasa bersalah.

Dewan juri sudah seharusnya proaktif untuk menyelesaikan kasus dugaan plagiat tersebut agar tidak terus menjadi kontroversi. Walaupun pada sisi lain, kontroversi itu merupakan pembelajaran yang sangat berharga dan peringatan terhadap siapa saja untuk tidak melakukan plagiat, bukan sesuatu yang sifatnya tidak produktif. Pendekatan kepada pengarang Kada Bakasudahan perlu dilakukan dewan juri, mungkin pengakuan tertulisnya cukup ditujukkan kepada dewan juri saja, dan selanjutnya dewan juri yang membuat keputusan apakah benar atau tidak cerpen Kada Bakasudahan sebagai hasil plagiat.

Kecenderungan dewan juri pada perkoncoan dalam suatu lomba harus disingkirkan dan jangan sampai terulang lagi pada Aruh Sastra 2011 di Barabai atau lomba-lomba event lainnya. Karena, kecenderungan itu sebenarnya sangat merugikan para nominasi yang memang layak menjadi tidak terhormat yang dihasilkan dari penjurian ala perkoncoan. Hal ini (kontroversi) merupakan pelajaran yang sangat berharga dan memberikan ruang pada peningkatan pemihakan pada norma dan etika dalam berkarya.

(Media Kalimantan, 15 Januari 2011: B5)





Tidak ada komentar: