jangan babisabisa mun kada tahu


Rabu, 10 Agustus 2011

MENCIPTAKAN SASTRA SEBAGAI DAYA PIKAT


Oleh: Ali Syamsudin Arsi

Ternyata agenda sastra di Kalimantan Selatan sebagai Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) telah membuka perhatian beberapa rekan sastrawan yang berada di luar Kalsel, seperti rekan Jumari HS (Kudus), Dimas Arika Mihardja (Dr. Sudaryono, M.Pd, Jambi), Shanti Ned (Samarinda), Hassan Al-Banna (Sumut), Yvone de Fretes (Jakarta), Shobir (Tangerang Selatan), Diah Hadaning (Depok).

Tentu saja hadirnya perhatian rekan-rekan sastrawan itu sedikit-banyaknya ada imbas dari beberapa faktor yang mampu dibaca oleh mereka. Boleh jadi karena beberapa tokoh sastra di luar Kalsel selalu diupayakan untuk hadir sebagai narasumber dalam setiap pelaksanaan ASKS. Di Kandangan (ASKS I) menghadirkan sastrawan kondang/penyair serta da’i potensial D. Zawawi Imron, di Kotabaru (ASKS III) menghadirkan D. Zawawi Imron bersama Sutardji Calzoum Bachri, di Amuntai (ASKS IV) menghadirkan Korry Layun Rampan, di Paringin (ASKS V) menghadirkan Maman S. Mahayana, di Marabahan (ASKS VI) menghadirkan Abdul Hadi WM, di Tanjung (ASKS VII) menghadirkan Raudal Tanjung Banua. Mereka yang telah datang memenuhi keinginan panitia sebagai narasumber itu adalah para penulis handal yang telah malang-melintang di dunia sastra dan tidak hanya dipandang secara ‘keindonesiaan’ saja tetapi di mata dunia mereka menjadi figur penting dan sangat konsisten di bidangnya. Mereka telah menjadi bagian dari ‘sastra dunia’.

Di Indonesia, dari ujung atas Barat Sumatera sampai paling ujung kulon pulau Jawa, kemudian menyisir pantai-pantai pulau Dewata Bali, Lombok terus meniti di kepulauan Ambon, bahkan sampai bagian Papua dan melingkar berbalik arah ke Ternate, Sulawesi dan bertahan di Kalimantan, banyak sekali nama-nama tokoh sastra yang akan menampakkan jejak ‘keluar-biasaan’-nya. Ya, mereka adalah orang-orang yang luar biasa dalam bidang sastra.

Tidak lepas daripada itu, dari beberapa tahun terakhir ini, beberapa orang Kalimantan Selatan sendiri telah menghadiri bentuk-bentuk perayaan sastra di pulau Jawa dan pulau Sumatera. Micky Hidayat, YS Agus Suseno, Sandi Firly, Hajriansyah, Jamal TS, Zulfaisal Putera, Harie Insani Putra, Isuur Loeweng, Eko Suryadi WS, M. Rifani Djamhari (alm), Karim ‘Oka Mihardja’, Arsyad Indradi, Arra, Maman S. Tawie, Hudan Nur, Sainul Hermawan serta tokoh budaya Syarifuddin R, bahkan ada pula generasi di bawah mereka seperti Mus’ab, Reza, dan Zurriyati ‘Sysy’ Rosyidah. (hehe, saya juga=penulis). Dan bila disibak jauh ke belakang maka akan semakin panjang daftar nama-nama itu. Ada pula yang tidak terpantau tetapi mereka menghadiri agenda-agenda sastra di luar Kalsel. Ini tentu saja sangat menggairahkan dan menjadi bukti bahwa sastra mampu sebagai ‘daya pikat’ walau tidak sedikit keberangkatan mereka itu dengan dana atau biaya seadanya karena secara umum sastrawan atau penyair yang ada di Kalsel ini tergolong ‘manusia berekonomi pas-pasan’ bahkan banyak yang berada di bawah garis hidup ‘ekonomi lemah’. Mereka berangkat tentu saja secara umum membawa nama Kalsel di ajang agenda sastra tersebut. Sangat disayangkan bila masih banyak di dalam masyarakat kita yang tidak mempedulikan keberadaan sastra dengan segala macam ragam aspek di dalamnya. Mengapresiasi karya sastra adalah juga mengapresiasi pengarang karya sastra tersebut. Proses kreatif mereka pun perlu pula diketahui, bagaimana perjalanan sebuah karya sehingga dapat disuguhkan kepada para pembacanya atau penikmatnya. Ragam-jenis karya itu memang banyak, dan yang paling penting dalam perayaan ASKS VIII di Barabai atau di kota-kota beikutnya adalah ‘semaksimal mungkin menggali potensi ‘kesastraan’ yang ada di tanah banua, agar terangkat ke permukaan dan mampu menampilkan dirinya di layar lebar ‘sastra dunia’ sehingga dapat dibaca lebih lebar, meluas dan menjadi tahu apa saja yang ada di ‘banua Kalimantan Selatan’ ini. Salah satu contoh ketika tercetus untuk memajang “Bumi Banjar Bumi Bersyair” yang tercetus saat perayaan ASKS VI di Marabahan, kemudian dengan ‘daya provokasi gaya sastra’ maka di Tanjung dikuatkan pula terapan Basyair itu ke dalam ajang lomba.

Di Barabai, bila memang dilaksanakan dengan persiapan yang sangat memperhitungkan sampai kepada hal-hal sekecil apapun, maka diyakini bahwa akan ada hal-hal yang menarik dan mampu berperan sebagai daya pikat. Promosi daerah adalah hal yang utama yang harus disikapi secara positif oleh mereka yang memang berkaitan dengan hal ini. Ini memang harus selalu digelorakan, walau untuk saat-saat sekarang ini dunia sastra masih jauh dari jangkauan para pengusaha serta para penguasa. Sastra sendiri harus kembali membaca dirinya sendiri, dan orang-orang yang ada di luar sastra perlu juga membuka diri bahwa kita akan saling berbagi dan sama-sama menata bangunan megah menara yang akan dapat dinikmati bersama di hari-hari jauh ke depan. Kita tentu saja boleh bermimpi, tetapi ternyata dari mimpi itu tidak sedikit yang telah terbukti karena kerja keras semua pihak saling bahu-membahu dan terkadang capaian-capaian itu tidak disadari bahwa semua bermula dari secarik mimpi yang diwujudkan oleh goresan tinta, ujung pena menari-nari. Imajinasi kreatif bukanlah hayalan kosong belaka, bukanlah ruang dengan hampa udara, tetapi merupakan daya.

Nah, kita juga memerlukan rekan-rekan penulis, penyair atau sastrawan luar dating menghadiri agar gairah, promosi, serta beragam pemikiran, kreasi dan ide-ide cemerlang yang inovasi hadir dalam perayaan ASKS di Barabai nanti. Semoga saja. Mereka bersedia datang (Pergi dan Pulang) menggunakan dana mereka sendiri. Panitia hanya menyiapkan akomodasi dan konsumsi. Tetapi karena kota Barabai berjarak sekitar 160 km dengan daya tembuh 3 – 4 jam perjalanan, maka perlu juga koordinasi agar perjalanan mereka lancar dan sebagai tuan rumah perlu bersikap memperhatikan, melayani perjalanan mereka terutama sejak tiba di bandara Syamsudin Noor menuju kota Barabai. Beberapa pilihan dapat ditentukan dan diseting sedemikian rupa, misalnya ada mobil yang sudah siap untuk memberangkatkan mereka dalam satu rombongan, tentu saja jadwal kedatangan mereka terus terpantau. Boleh juga dengan menyiapkan penginapan khusus entah di Banjarbaru atau di Banjarmasin, setelah terkumpul semua sebagai satu rombongan maka mereka langsung berangkat ke Barabai. Atau ada pula jenis pelayanan yang lain dan ini perlu persiapan yang matang-terkendali. Jangan sampai ada satu orang pun dari mereka yang mengalami hal-hal mengecewakan. Panitia harus siaga cepat tanggap dan tangkas untuk melayani dari kedatangan sampai akhirnya memberangkatkan mereka sesuai keinginan mereka. Panitia menjadi fasilitator, berfungsi sebagaimana mestinya.

Persiapan untuk itu tentu saja tidaklah dapat dilakukan bila hanya menunggu dalam hitungan satu bulan atau beberapa minggu. Agenda tidak bergesera, tanggal dan hari mutlak jelas dalam ketetapan pasti. Semua ‘orang-orang’ dalam kepanitiaan sudah tahu dan menguasai bidang kerjanya. Sarana-prasarana tidak kalang-kabut lagi bila tepat waktu, tepat tempat, tujuan dan fungsinya. Seting ini mutlak dan pertemuan demi pertemuan tidak dapat dikatakan tuntas bila hanya satu atau dua kali bertemu. Pertemuan tidak harus melulu dalam suasana rapat formal tetapi dirancang agar pembicaraan, pembahasan serta simpulan-simpulan langkah menjadi akurat dan membahagiakan, damai, bersahaja. Bila ada salah satu orang saja yang berpikiran untuk ‘menguras pundit-pundi dana’nya maka akan membuat semua jerih-payah itu akan sia-sia belaka, paling tidak ‘cacat dalam tata-laksana’.

Kita sangat berharap agenda ASKS ini dapat bergulir terus tanpa henti, walau di kemudian hari bentuk, nama, pelaku, spanduk serta sponsornya berbeda-beda. Paling tidak semangat untuk meraih kemajuan dan kesuksesan di semua bidang dalam pembangunan, tidak dapat mengesampingkan peranan di sisi budaya, seni dan kesenian. Bagaimana, wahai rekan-rekan di Barabai? Kita siap??! Ataukah, sampai saat ini masih banyak kendala karena yang namanya koordinasi itu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Akh, apakah hanya sampai batas wacana saja.

Tidak ada komentar: