jangan babisabisa mun kada tahu


Rabu, 10 Agustus 2011

SUDAHKAH BAKASUDAHAN (Karindangan vs Kada Bakasudahan


Oleh: Ali Syamsudin Arsi

Nur Hidayah (NH) boleh jadi pemilik cerpen Kada Bakasudahan (KB), ide cerita, gagasan, pokok landasan cerita sudah melekat padanya karena cerita itu (KB) merupakan pengalaman pribadi dan itu sah-sah saja.

Di satu kurun waktu, jauh tahun sebelumnya, ternyata ada cerpen berjudul Karindangan (K) buah pena Seroja Murni (SM). Kedua cerpen ditulis dalam Bahasa Banjar.

Sangatlah sulit bagi KB untuk melepaskan dirinya dari jerat-jerat struktur kalimat yang terdapat pada K. Bukti yang menggiring ke arah sana terlalu vulgar dan sangat jelas terpampang. Jumlah kalimat pada KB ada 162, sedang pada K terdapat 191 kalimat. Berdasarkan paparan ini ada sebanyak 32 kalimat yang sama. Ada beberapa kalimat dalam KB yang secara utuh merunut alur K, tetapi di beberapa bagian terdapat ‘lompatan-lompatan’ yang membuka peluang agar cerita menjadi tidak sama.

Pembuka kedua cerpen adalah kalimat yang sama :
(KB, 1) Aku tahu ai amun baampik sabalah tangan tu lacit ka kiamat kada bakal babunyi.
(K, 1) Aku tahuai amun baampik sabalah tangan tu lacit kiamat kada bakal babunyi.
Perbedaan ada pada penulisan kata ‘tahu ai’ dengan ‘tahuai’, juga kata penunjuk arah ‘ka’ (KB, 1) yang tidak terdapat pada (K, 1). Selanjutnya adalah sebagai berikut:.

(KB, 2) Aku tahu ai amun urang nang kuganang siang malam nangitu kada tahu manahu.
(K, 2) Aku tahuai amun urang nang kuganang siang malam nangitu kada tahu-manahu.
Perbedaan hanya pada penulisan kata ‘tahu ai’ dengan ‘tahuai’,juga pada ‘tahu manahu’ tanpa garis hubung dengan ‘tahu-manahu’ menggunakan garis hubung.

(KB, 3) Aku maka am ciling-ciling maitung cacak, gulang-gulik bakawan gaguling, ngalih banar mancari guring.
(K, 4) Aku makaam ciling-ciling maitung kasau, gulang gulik bakawan guguling, ngalih banar mancari guring.
Ada yang diganti pada kata ‘kasau’ (K) dengan kata ‘cacak’ (KB), juga penulisan kata ‘maka am’ dengan ‘makaam’, ‘gaguling’ dengan ‘guguling’..
‘Lompatan” kalimat terjadi karena ada urutan kalimat pada K yang dilewati oleh KB yaitu (K, 3) Mandingkur karuh urang dihiga nang bini.

Secara rinci dapat saja ditemui pengutipan kalimat-kalimat dari cerpen K yang diletakkan langsung begitu saja ke dalam struktur bangunan cerpen KB. Seluruhnya ditemukan 32 bagian kalimat yang sangat-amat-jelas-sekali pengambilan kalimat-kalimat itu.

Tentu saja Nur Hidayah berada pada posisi yang sulit dalam hal ini, tetapi alangkah arif dan bijaksananya bila ada pihak yang secara cepat untuk memediasi agar ‘kasudahan kisah panjang kita ini bukan berakhir pada kada bakasudahan’. Kisah panjang kita ini harus pula direspon secara positif oleh pihak dewan juri terlebih lagi oleh panitia aruh sastra yang katanya sekalsel dan bergengsi. Perasaan ini saya (secara pribadi) ungkapkan agar pada agenda aruh di Barabai, Hulu Sungai Tengah, tahun 2011 nanti serta di kabupaten atau kota lain menjadi benar-benar terjaga. Bagaimana pun panitia aruh sastra ke-7 di kota Tanjung, kabupaten Tabalong ikut terlibat, tidak dapat melepaskan diri begitu saja, dan tentu para dewan juri dapat menentukan sikap. Benar yang paparkan oleh Sainul Hermawan, bahwa kata kunci yang selalu menghambat di lembar-lembar keputusan (tentang even apa saja), “Keputusan dewan juri tidak dapat diganggu-gugat,” adalah sesuatu yang mesti kita bongkar. Terbukti, bahwa para dewan juri bukanlah dewa yang dapat menentukan secara mutlak dan ternyata ‘korup’ dalam kapasitas penilaiannya.
Dan kita selalu saja ‘korup’ dengan wawasan kita sendiri.

Lompatan yang sangat ‘ekstrim’ terjadi pada, misalnya:
(KB, 139) “Sudah lawaslah lading ikam tu simpak?” ujarnya batakun babaya kadangaran.
Lompatan ini jauh melampaui posisi kalimat yang ada pada K, yaitu (K, 73) “Sudah lawaslah lading ikam itu simpak?” ujar sidin batakun babaya kadangaran. Dilanjutkan pada (KB, 144) Marigap hatiku, lalu mangarti ai aku, kamana sabujurnya ampah tatakunan inya nangitu. Bandingkan dengan (K, 75) Marigap hatiku, lalu mangartiai aku, kamana sabujurnya ampah tatakunan sidin nangitu.

Perbedaan kata ‘inya’ dengan kata ‘sidin’ karena alasan yang sangat kuat dan mendasar. Kata ‘inya’ digunakan untuk untuk kata penganti ‘orang ketiga’ yang dalam cerita itu adalah Ka Dani. Ka Dani inilah lelaki pujaan, lelaki yang diharapkan oleh ‘aku’, lelaki yang telah membuat hati ‘kada kakaruan, karindangan buta’. Sedang penggunaan kata ‘sidin’ adalah untuk sikap menghormati dari ‘aku, perempuan muda’ kepada seorang wanita yang lebih tua, yaitu istri dari pak Ahmad. Nah kepada pak Ahmad inilah kerinduan itu tertanam di hati ‘aku’. Karena kerinduan itu sangat kuat maka dengan sangat percaya diri ‘aku’ secara jujur, tulus dan terbuka mengutarakannya kepada ‘wanita, bini pak Ahmad dengan cara menemui langsung ‘bailang’ ke rumah. Suasana dramatikal pun terpampang sangat menyentuh, tulus dan murni. Sebuah penerimaan yang sangat melapangkan dada bagi semua pihak dalam cerita Karindangan tersebut. Dan pak Ahmad tidak ingin melepaskan burung merpati yang terbang melayang menuju rumahnya.

Berbeda dengan ‘penyimpangan cerita’ yang terjadi pada cerpen Kada Bakasudahan. Kedatangan ‘aku’ yang bernama Aida ke rumah Ka Dani mula-mula berjalan datar saja, tetapi ketika seorang ‘perempuan muda’ lain datang yang bernama Rahma maka malapetaka rindu itu pun menjadi kabut. Dari suara ibu Ka Dani terdengar jelas dan yakin bahwa Rahma adalah pacar Ka Dani, pupuslah kedalaman rindu itu di lubuk yang ‘maulak-ulak’ hati Aida.

Kita pun akan mampu memilih, pasti ada cerpen yang berkualitas di antara banyak cerpen. Sekalipun itu dalam Bahasa Banjar. Salut untuk Seroja Murni. Siapa takut berbahasa Banjar!!!

Kalimantan Selatan, 17 Desember 2010.










Tidak ada komentar: