jangan babisabisa mun kada tahu


Rabu, 10 Agustus 2011

KADA BAKASUDAHAN KARINDANGANNYA


Oleh: HE. Benyamine

Dugaan plagiat merupakan persoalan yang sangat serius. Bertambah serius persoalannya jika hal itu menjadi bagian dari pemenang suatu lomba, sebagaimana yang terjadi pada Lomba Cerpen Bahasa Banjar Aruh Sastra VII Tabalong, karena tidak hanya menyangkut si tertuduh tapi juga menyangkut kompetensi dewan jurinya beserta segala keputusannya.
Lambatnya respon dewan juri terhadap dugaan plagiat cerpen karya nominasi Kada Bakasudahan dengan karya Karindangan (Seroja Murni) dapat dianggap sebagai petunjuk yang menguatkan pandangan tidak berkompeten dan kurang seriusnya dewan juri, yang terkesan dugaan plagiat tidak menjadi persoalan penting dan serius dalam berkarya. Seakan dewan juri memposisikan diri yang bebas dengan persoalan dugaan plagiat, karena yang terpenting bagi mereka hanya kualitas cerpen peserta lomba, yang lebih mengesankan posisi dewan juri seperti penggabungan kedua judul cerpen; Kada Bakasudahan Karindangannya karena keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat.

Tanggapan yang ada masih merupakan tanggapan pribadi juri, yang lebih berkesan pemakluman terhadap persoalan dugaan plagiat. Sebagaimana tanggapan Nailiya Nikmah JKF (Media Kalimantan, 13 Desember 2010: B5) yang menggunakan istilah bacakut papadaan dalam melihat dugaan plagiat yang sebenarnya tidak konteks dengan persoalan. Lagi pula persoalan dugaan plagiat tidak tepat dikatakan sebagai bacakut papadaan. Padahal dalam tulisannya sudah memperkuat dugaan plagiat tersebut dan merupakan pandangan yang menjadikan cerpen Kada Bakasudahan layak dinominasikan karena pengutipan dinyatakan sebagai, “tidak hanya mendukung cerpen ... tetapi juga menjadi kekuatan cerpen ini. Sebagai contoh, paragraf awal yang begitu memesona tak lain adalah paragraf awal cerpen ‘Karindangan’” (MK, 13/12/10:B5).

Dengan penggunaan istilah yang kurang tepat, Nailiya Nikmah JKF (juri) menjadi berburuk baik adanya kesan ketidaksenangan terhadap person, yang juga melebarkan persoalan dugaan plagiat. Karena persoalan dugaan plagiat itu tidak menyangkut hubungan antar pribadi, tetapi merupakan persoalan serius bersama yang memang harus secepatnya diselesaikan. Hal ini juga berhubungan dengan penyadaran bagi siapa saja untuk tidak menganggap hal biasa untuk “menenggak anggur” sebagai plagiator, dan merupakan bagian dari menyuarakan dan mensosialisasikan betapa hinanya memplagiat karya orang lain.

Lolosnya cerpen yang diduga plagiat sebagai nominasi pemenang lomba, tentu saja arah jari telujuk ditujukan kepada dewan juri, apalagi cerpen yang dilombakan adalah cerpen berbahasa Banjar yang masih sangat sedikit, sehingga alasan tidak ada waktu dan kurangnya data atau bahan bacaan menjadi petunjuk tidak berkompetennya para juri. Kompetensi juga menyangkut pengetahuan yang bersangkutan terhadap bidang yang akan dinilai, seandainya cerpen yang dinilai berbahasa Indonesia tentu dapat dimaklumi dewan juri kecolongan memenangkan cerpen plagiat.

Begitu juga tanggapan Aliman Syahrani (juri) yang masih menegaskan posisi dewan juri dengan ungkapan, “Yang jelas keputusan dewan juri sifatnya tidak bisa diganggu gugat karena sudah dibahas dalam juklak lomba” (Media Kalimantan, 18 Desember 2010: B5) yang mengesankan ada orang lain yang ingin mencampuri keputusan dewan juri. Padahal yang menjadi persoalan bukan keputusan dewan juri, tapi dugaan plagiat dari salah satu nominasi lomba. Keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat lebih berkenaan dengan kualitas cerpen nominasi, berkualitas atau tidak itu urusan dewan juri yang memang tidak dapat diganggu gugat, meskipun keputusan tersebut menetapkan cerpen yang tidak layak. Sedangkan persoalan plagiat tidak hanya berhubungan dengan hak veto dewan juri, tapi menyangkut karya orang lain.

Kompetensi dewan juri dalam lomba cerpen bahasa Banjar Aruh Sastra menjadi dipertanyakan, karena terlalu lamban dalam bertindak, padahal beberapa pihak sudah menyarankan untuk segera bertemu antar dewan juri dan dewan juri dengan pengarang cerpen Kada Bakasudahan sebagaimana dikemukakan Y.S. Agus Suseno (Media Kalimantan, 18 Desember 2010: B5), yang jika tidak segera diselesaikan dapat berpengaruh pada mentalitas berkarya orang yang diduga melakukan plagiat.

Dewan juri dapat melakukan klarifikasi langsung terhadap pengarang cerpen Kada Bakasudahan, dan membandingkan kedua karya yang dimaksud, yang kemudian dewan juri dapat menentukan berapa panjang indikasi penjiplakannya, juga tentang tokoh dan penokohan, alur, latar dan sudut pandangnya sebagaimana saran Sainul Hermawan (Media Kalimantan, 14 Desember 2010: B5). Disamping itu, dewan juri juga perlu membuka diri terhadap orang-orang yang berkompeten dalam menilai kedua cerpen tersebut, sebagai pembanding atas penilaian dewan juri.

Dugaan plagiat sudah semestinya dapat diselesaikan dengan segera. Rencana Aliman Syahrani (juri) untuk segera bertemu dengan Nailiya Nikmah JKF (juri) perlu secepatnya direalisasikan (juga dengan juri Jamal T. Suryanata), yang merupakan sikap dan tindakan yang perlu diapresiasi dan terus didorong untuk menyamakan persepsi dalam menanggapi persoalan yang sepatutnya cepat diselesaikan. Di samping itu, beberapa pihak sudah menyarankan jika seandainya dugaan itu benar dan diakui yang bersangkutan akan selesai dengan permintaan maaf untuk tidak mengulanginya dan dewan juri tidak perlu sungkan juga untuk menyatakan maaf. Untuk itu, dewan juri perlu meletakkan persoalan pada tempatnya, dan tidak perlu menarik persoalan lainnya menjadi bagian persoalan dugaan plagiat Lomba Cerpen Bahasa Banjar Aruh Sastra VII.

Dugaan plagiat diharapkan dapat diselesaikan dengan tepat, agar tidak seperti suasana tokoh dalam cerpen Kada Bakasudahan (Bunga Rampai Puisi dan Cerita Pendek Berbahasa Banjar, Manyanggar Banua, 2010: 114), “Banyak nang handak ulun pandirakan. Tapi asa kasat rakungan. Rasa dijarat, dada asa sasak, rasa ngalih manyintak hinak ...”.

(Media Kalimantan, 23 Desember 2010: B5)



Tidak ada komentar: