jangan babisabisa mun kada tahu


Rabu, 10 Agustus 2011

ARUH SASTRA, BARABAI BAGAIMANA ?


Oleh: Ali Syamsudin Arsi

Tiba-tiba saja di hadapan saya berdiri dua orang yang langsung menyapa dan memperkenalkan diri. “Tugas kami sebagai Pemandu dalam acara ini, bila ada yang diperlukan maka kami berdua siap membantu semampunya. Silahkan menghubungi nomor kami. Dan sewaktu-waktu, kami akan menghubungi nomor yang Bapak-Ibu miliki, terutama apabila mendekati permulaan acara, sesuai dengan jadwal yang telah ada. Kami akan melayani, bahkan ketika acara sedang berlangsung, kami akan melaporkan kepada penanggung jawab acara bahwa kehadiran atau ketidak-hadiran peserta. Segala persoalan silahkan sampaikan kepada kami, apabila kami tidak mampu memberikan yang terbaik maka akan kita bahas bersama cara menyelesaikannya.”

Ternyata para Pemandu itu tidak hanya dua orang saja. Mereka dikumpulkan saat saya memanjakan tubuh di lobi hotel. Saya hitung sekitar 30 orang, mereka memperhatikan dengan tertib, serius dan patuh. Ada petunjuk khusus yang mereka bicarakan, itu berjalan tidak hanya sekali tetapi pada waktu-waktu tertentu agar selalu dalam koordinasi yang terjaga dan intens. Sesekali mereka bercanda. Dari info yang saya ketahui, mereka berasal dari beberapa sanggar seni yang direkrut sebagai relawan untuk suksesnya agenda yang saya ikuti. Rombongan saya yang akan berhubungan dengan kedua Pemandu tadi jumlahnya ada 15 peserta, setiap rombongan memang bervariasi jumlahnya. Cerita ini terjadi pada agenda Temu Sastrawan Indonesia 1 di kota Jambi tahun 2008 yang telah lewat, sangat berkesan masalah ini.

Pagi-pagi sekali, ada bunyi sms yang masuk ke gendang telinga. Cepat saya buka, dan saya baca, “maaf bapak, saya Arman, Pemandu Bapak. Saat ini Bapak ditunggu di ruang makan, nanti tepat pukul 20.30 acara pembukaan dimulai.” Semua peserta mendapatkan pesan sms ini, tanpa ada yang tertinggal. Akh, tidak berlebihan untuk sebuah pelayanan. Ternyata bentuk profesional penyelenggaraan sebuah agenda haruslah diseting sedemikian rupa. Tidak hanya itu, sms lain pun akan datang dengan ramah, “selamat malam Bapak, selamat beristirahat, semoga besok pagi menjadi segar kembali.” . atau dengan nada-nada memperingatkan bahwa, “selamat pagi Bapak, ditunggu di ruang makan untuk sarapan pagi, acara seminar akan dimulai pukul 08.30 tepat.. Salam untuk Bapak.”.

Keramahan seperti apa yang kita rasakan dalam pelayanan seperti itu, bukan hanya dalam bentuk komunikasi jarak jauh saja, tetapi ketika berada di depan pintu masuk ruang makan pun telah pula tersedia tenaga-tenaga sukarela yang akan siap membantu bila memang diperlukan. Saya sebagai peserta tidak harus mengenal seluruhnya tetapi hanya beberapa orang saja sudah cukup merasakan bahwa saya bukan orang asing dalam acara tersebut. Awalnya adalah benar saya sangat menunggu penjelasan dari Pemandu, tetapi selang beberapa waktu maka proses adaptasi dari rasa ‘keterasingan’ itu lentur dan membaur, walau komunikasi dan kesediaan para Pemandu tetap saja disiagakan, karena ada dan banyak peserta yang memang memerlukan bantuan mereka. Secara umum, dari rekan-rekan satu rombongan memberikan apresiasi positif terhadap keberadaan Pemandu dan kesigapannya. Para Pemandu itu khusus ditugaskan sebagai Pemandu, mereka tidak diberikan beban tugas yang lain. Ini menjadi sangat profesional. Data para peserta yang berada di luar arena pun akan dapat terpantau, di mana dan sedang apa mereka, karena Pemandu akan melacak sesuai jumlah dalam tanggung jawabnya. “Bapak berada di mana, saat ini ada yang ingin bertemu Bapak, ditunggu di sekretariat, terima kasih”.

Kami, juga saya dalam rombongan itu, tidak pula ingin diperlakukan dengan sangat istimewa tetapi alangkah elok dan manisnya bila kesuksesan sebuah acara dimulai dari sikap melayani itu dirasakan oleh semua yang terlibat di sana. Tidak pula terlalu memanjakan, tetapi saling mengingatkan terutama masalah jadwal dan waktu serta kehadiran para peserta adalah penting. Dengan hanya dua Pemandu untuk 15 peserta adalah jumlah yang cukup berimbang, tidak perlu dengan satu berbanding satu. Tentu saja Pemandu terlebih dahulu memiliki dan sedikit menguasai materi apa, siapa, bagaimana, kapan, di mana, agenda itu berjalan dari awal acara sampai nanti berakhir agenda. Memulai untuk bersikap melayani, alangkah indahnya.

Bagaimana dengan Aruh Sastra di Barabai setelah Tanjung sukses melakukan agenda ?

Bukan hanya Tanjung, tetapi Marabahan sudah, Paringin sudah, Amuntai sudah, Kotabaru sudah, Pagatan sudah, Kandangan sudah. Satu hal pula yang harus dicatat, yaitu mampukah pelaksanaan Aruh Sastra itu membiaskan nilai-nilai positifnya kepada perkembangan, kemajuan pembangunan kepada daerah tempat penyelenggaraannya. Satu misal, sastra yang telah lama masuk dalam kurikulum pembelajaran dari tingkat sekolah dasar sampai menengah, bahkan masuk pula di ranah perguruan tinggi. Pertanyaannya, seberapa besar antusias perserta didik tadi dalam “bersastra”, atau sudah sejauh apa motivasi para gurunya terlibat dalam dunia sastra yang harus dan wajib disampaikannya kepada peserta didiknya di muka kelas.

Dunia Sastra adalah Dunia Pendidikan, ini akan tertuju pada keterlibatan Dinas Pendidikan, pertanyaannya, maukah mereka melibatkan diri padahal ini juga bagian dari tugasnya, ataukah mereka hanya tutup mata tutup telinga saja. Atau mereka akan menjawab, “Kami tidak diundang, kami tidak dilibatkan, kami tidak diajak,” atau dengan berbagai alasan lain karena masih banyak ‘proyek lain yang menunggu’. Contoh lain lagi adalah Aruh Sastra ini dapat menjadi pijakan untuk membuka isolasi-isolasi wisata budaya sebagai aset kepariwisataan dan itu harus dimulai sejak jauh sebelum hari H-nya aruh sastra itu sendiri.

Dunia Sastra adalah Dunia Kebudayaan, misalnya alangkah sinerginya bila pihak dinas yang terkait kepariwisataan melakukan Lomba Cipta Mengarang yang fokus cerita adalah tempat-tempat tertentu yang ada di wilayah (Hulu Sungai Tengah ), entah berupa cerita rakyat yang telah berkembang dan telah banyak dikenal oleh masyarakat luas atau dengan inovasi-inovasi cerita yang lebih menarik. Ini akan berdampak kepada ketokohan, keunggulan, bahkan imaji-imaji lain yang pada tahap awal adalah ‘memperkenalkan’ tetapi di masa-masa akan datang menjadi tujuan para wisatawan lokal atau asing. Promosi daerah itu harus bersinergi dengan agenda ini, dan nilai positifnya tentu saja terasa.

Apam Barabai sangat dikenal, tetapi dapatkah ia menjadi lebih awet agar mampu bertahan untuk beberapa hari dari waktu pembuatannya. Dari pemikiran yang dimulai imajinatif akan mampu memberikan stimulus ke arah pemanfaatan teknologi agar persoalan itu terpecahkan, lihatlah Dodol Kandangan yang mampu bertahan lama dan dapat ditemui di mana saja, terutama di wilayah Kalimantan Selatan. Bagaimana Barabai, siapkah dengan inovasi pemikiran yang dipicu oleh suksesnya agenda Aruh Sastra di sana pada tahun 2011 nanti setelah kota-kota lain telah sukses sebagai Tuan Rumah, tentu Pelayanan terhadap para Peserta tidaklah kita abaikan. Kesiapan ini juga tidak terlepas dari segi pendanaan yang memadai sesuai anggaran yang diharapkan oleh panitia. Bila tidak maka akan berdampak kepada pelaksanaan secara keseluruhan.

Salam sastra,





Tidak ada komentar: