jangan babisabisa mun kada tahu


Rabu, 10 Agustus 2011

ARUH SASTRA 2008 TUTUP MULUT


Oleh: HE. Benyamine

Kalimantan Selatan, tepatnya di Balangan, pada 12 sampai 14 Desember ini, akan berlangsung suatu perhelatan besar tentang sastra dan kesusastraan. Aruh Sastra V namanya. Bagi kalangan sastrawan dan penggiat sastra dan kesusastraan tentu sudah tidak asing lagi. Masyarakat umum pada saat ini hanya mendengar sayup-sayup, bahkan hampir tak terdengar, padahal acara tersebut merupakan moment yang sangat besar bagi perkembangan sastra dan kesusastraan di Kalsel, atau lebih kerennya merupakan ajang untuk menunjukkan adanya suatu gerak kemajuan dalam dunia sastra, khususnya di Kalsel.
Halaman Radar Banjarmasin Minggu, Cakrawala Sastra & Budaya, dalam beberapa minggu ini terakhir memang memuat hasil Lomba Cerpen dan Puisi Aruh Sastra 2008, namun masih saja terasa sepi dan senyap perjalanan menuju aruh sastra tersebut. Seakan, tiada hiruk pikuk dan berbagai kesibukan yang menandakan akan adanya suatu pertemuan (hajatan) besar dalam dunia sastra Kalsel di Balangan.
Memang ada perdebatan, atau lebih tepatnya gugatan, atas terbitnya Ensiklopedia Sastra Kalimantan Selatan (ESKS) dari Balai Bahasa Banjarmasin (BBB), yang juga menghiasi lembaran Carkrawala dalam beberapa bulan terakhir. Kehadiran ESKS yang sebenarnya sudah cukup untuk dimaklumi sebagai suatu kelahiran tidak normal dan membawa cacat bawaan, lebih cenderung mendominasi berbagai pembicaraan kalangan yang konsen terhadap sastra dan kesusastraan, dan terlalu banyak menyita kesempatan dalam ruang media yang terbatas hanya setiap Minggu, sehingga pra Aruh Sastra berlalu begitu saja tanpa ada pergulatan, pergumulan, perdebatan, lontaran ide dan gagasan, pandangan terhadap perkembangan dan pertumbuhan sastra dan kesusastraan sejak aruh sebelumnya, dan bagaimana harapan ke depan.
Perdebatan tentang kehadiran ESKS, berdasarkan tulisan di halaman Cakrawala, memberikan kesan terlalu membesarkan sesuatu yang sebenarnya hanya bagian sempit dan kecil dari dunia sastra Kalsel. Para peneliti sastra, tidak terlalu naif untuk hanya mempercayai satu ensiklopedia sebagai rujukan dalam penelitiannya, sehingga ESKS tidakalah mampu mewakili luasnya sastra dan kesusastraan Kalsel. Juga, cenderung memposisikan para sastrawan Kalsel sangat tergantung dengan pemerintah dalam melaksanakan aktivitas dan kegiatan sastra. Apalagi, perdebatan ini dapat dikatakan tidak terlalu relevan dengan hajatan besar masyarakat sastra Kalsel di Balangan.
Masyarakat sastra Kalsel sudah sepatutnya mengarahkan segenap hati dan pikirannya dalam menyongsong Aruh Sastra V di Balangan. Membongkar kemapanan sastra Kalsel dalam setahun terakhir, agar tercipta keadaan “berantakan” yang kemudian digulirkan dalam berbagai kesempatan dan media oleh para sastrawan, seniman, dan pekerja sastra untuk dipilah, dipisahkan, dikelompokkan, dan disusun kembali. Bagaimanapun, pembicaraan ESKS merupakan contoh yang cenderung kepada kemapanan sastra, sedangkan bentuk bukunya yang lahir cacat seakan telah mengganggu kemapanan tersebut.
Aruh Sastra V terlalu besar jika hanya sekedar hajatan “kumpul-kumpul” yang cenderung kangen-kangenan dan nostalgia dengan berbagai acara hiburan “ngesastra”. Hajatan besar ini harus mampu memunculkan “prahara budaya” yang terjadi di Kalsel, dan dimana posisi para sastrawan dan seniman di dalamnya. Para sastrawan, yang memilih posisi tertentu dengan konsekuensi peran yang harus dimainkan, harus mulai terlibat dengan berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Kalsel. Pembicaraan pertumbuhan, pembinaan, dan perkembangan sastra di Kalsel biarlah menjadi lahannya komunitas kecil sastra dan berskala lokal atau daerah.
Sastrawan dan seniman Kalsel sudah saatnya menunjukkan keberpihakan kepada berbagai masalah kehidupan masyarakat, sekaligus sebagai cara “menginjakkan kaki” di bumi, terutama dalam ide dan gagasan yang dilanjutkan dengan sikap terhadap setiap persoalan yang “menghujam dan menikam” masyarakat. Hal ini memang mempunyai konsekuensi terjadinya hubungan yang kurang “harmonis” dengan pemangku kekuasaan, tetapi pilihan cara dan kecenderungan keterbukaan memberikan peluang untuk mengurangi ketidakharmonisan tersebut. Kemandirian sastrawan dan seniman menjadi penting artinya untuk diperjuangkan. Walaupun selama ini para sastrawan dan seniman berusaha menjalin hubungan baik dengan elit kekusaan, kepedulian pemerintah terhadap sastra tetap saja masih kalah sangat jauh bila dibandingkan dengan kegiatan olahraga.
Hajatan besar dari Aruh Sastra Kalsel I di Kandangan, HSS (2004), Aruh Sastra Kalsel II di Pagatan, Tanah Bumbu (2005), dan Aruh Sastra Kalsel III di Kotabaru, Kotabaru (2006), hingga Aruh Sastra Kalsel IV di Amuntai, Hulu Sungai Utara masih belum mampu memperlihatkan suatu pilihan peran dan sikap dari para sastrawan dan seniman sebagai bagian dari masyarakat untuk bersama-sama memperjuangkan kesejahteraan bersama yang lebih baik. Sebagai bagian masyarakat dan sebagai entitas bebas yang sadar, para sastrawan dan seniman, haruslah terlibat dalam memperjuangkan kebaikan bersama, karena bila masyarakat menjadi sejahtera secara otomatis sastrawan dan seniman termasuk di dalamnya.
Aruh Sastra V jelas bukan hajatan besar untuk tutup mulut. Bersuaralah, bersuaralah dengan lantang, karena banyak yang tidak mampu bersuara sebagaimana sastrawan dan seniman. Para sastrawan dan seniman serta pencinta sastra dan seni, berkumpul untuk suatu hal yang besar sebagai ajang tahunan, yang tentunya digagas untuk “memercikkan cahaya” dalam berbagai kesadaran tentang situasi dan kondisi daerah. Jelas, harapan besar dibebankan kepada Aruh Sastra V, agar hajatan besar ini menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat, memberikan cahaya penyadaran kepada masyarakat, dan mampu menggerakkan masyarakat untuk meraih kesejahteraan yang semestinya. Selamat, sukses Aruh Sastra!

Radar Banjarmasin, 13 Desember 2008: 3

Tidak ada komentar: