jangan babisabisa mun kada tahu


Rabu, 10 Agustus 2011

GURU DAN ARUH SASTRA


Oleh: Ali Syamsudin Arsi

Banyak siswa boleh saja setahun demi setahun berpindah kelas, berpindah sekolah, tetapi beberapa guru akan selalu setia sebagai penunggu ruang dan bilik di sebuah kelas, di sebuah sekolah.

Banyak buku, banyak kitab boleh saja memiliki bermacam-ragam isi dan penampilan sebagai bahan pembelajaran di banyak jenjang kelas, di pelbagai sekolah, tetapi pedoman yang telah digariskan adalah jalur utama yang akan disampaikan oleh guru kepada para siswanya.

Selain mata pelajaran bernama agama, tentu saja ada matematika, selain ilmu pengetahuan alam tentu ada pula ilmu pengetahuan sosial, begitu pula apabila ada pendidikan kewarga-negaraan maka ada pula pelajaran bahasanya. Tentu saja tidak akan melupakan kesegaran jasmani atau bidang olah-raga, tentu saja tidak akan meninggalkan betapa pentingnya keterampilan serta kesenian, dan sebagainya dan sebagainya. Semua mendapat tempat dan posisi yang sama, mendapat perhatian yang seimbang pula.

Secara normal, fokus capaian dalam pembelajaran untuk semua jenjang, untuk semua mata pelajaran atau bidang tersebut terletak pada “apa, siapa dan bagaimana gurunya berperan” dalam proses transformasi bahan ajar kepada siswanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa peran seorang guru adalah menjadi titik sentral dalam pendidikan di semua jenis kelas, di semua jenjang sekolah. Pendidikan dalam arti mikro karena ruang lingkup, waktu dan perhatian hanya sebatas jam-jam sekolah, atau hanya jam-jam pelajaran sesuai dengan jadwalnya masing-masing.

Barabai, pada masa-masa dahulu adalah daerah yang telah banyak menghasilkan lulusan yang berprofesi sebagai guru, karena pada waktu itu di sebuah lingkungan terdapat sekolah yang memang ditargetkan untuk memproses kader-kader para guru tersebut. Penyebaran para guru tersebut ternyata hampir merata ke seluruh wilayah Kalimantan Selatan, selain lulusan dari Banjarmasin serta kota-kota lainnya. Sebelum ada FKIP maka peranan SPG, KPG merupakan tumpuan dalam hal mencerdaskan anak-anak bangsa, anak-anak banua. Banua Lima, pada waktu itu, untuk urusan ‘mengabdikan diri sebagai guru’ maka akan memilih kota Barabai sebagai tujuan, selain Martapura di bidang agama, atau ke Banjarmasin.

Kembali kepada guru sebagai sentral dalam proses tranformasi bahan ajar kepada para siswa, dalam konteks akan dilaksanakannya agenda tahunan di Kalimantan Selatan yang bernama Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) di kota Barabai pada tahun 2011 ini maka keberadaan guru menjadi sangat penting. Peranan serta dedikasinya, perhatiannya, apresiasinya atau apa pun nama dan istilahnya, mau tidak mau keterlibatan guru akan sangat berdampak luas terhadap keberadaan, pertumbuhan serta perkembangan sastra di waktu-waktu yang akan datang.

Dari pelaksanaan aruh ini akan terlihat nyata bagaimana kita memperlakukan budaya dengan cara yang berbudaya itu. Bagi kalangan sastrawan, dana ratusan juta rupiah itu adalah jumlah yang ‘sangat besar’, dan sangat berharap bahwa manfaat dari penggunaan dana ‘sangat besar’ itu berdampak ‘sangat positif’ bagi sastra itu sendiri, bagi daerah tempat terselenggaranya aruh itu, bagi masyarakat sastra yang ada dan bergiat di daerah pelaksanaan aruh itu. Kalau posisi sastra di daerah tersebut masih dalam tatanan ‘memperkenalkan diri’, maka akan diupayakan proses ‘memperkenalkan sastra itu’ semaksimal mungkin, karena dampak dari ‘perkenalan’ itu akan sangat membuka gairah-gairah, potensi-potensi, cara-cara berpikir, semangat untuk maju, serta imbas-imbas positif lainnya. Diupayakan imbas-imbas positif ini bergerak ke segala bidang kehidupan, bukan hanya untuk bidang sastra saja. Sastra hanya pemicu, pendorong, motivator dengan segala kreasi dan inovasinya.

Guru harus sudah terlibat dalam rancangan besar, gagasan besar, ide-ide besar dan dengan ‘mimpi-mimpi besar’ pula. Guru dapat diajak mendekat dengan berbagai ragam lomba-lomba, pelatihan-pelatihan, pertemuan-pertemuan awal. Katakanlah akan terjadi seleksi secara alamiah, dari 100 mungkin yang benar-benar berminat, suka, sayang, tak ingin lepas dan selalu ‘bersastra’ (dengan segala macam kendala dan alasan masing-masing) misalnya hanya ada 20 guru yang benar-benar penuh perhatian, semangat demi keberadaan dan kemajuan sastra, maka yang 20 ini akan mampu membantu penuh perayaan aruh sastra di daerahnya, Barabai tentunya. Begitu pula dengan para siswanya, diajak mendekat. Apalagi kepada aktivis seni yang sudah ada di daerah tersebut tentu saja harus ambil bagian pada agenda ini. Memang tidak bisa serta-merta menjadi panitia inti semuanya, tetapi dengan adanya para penggembira yang bersiap-sedia membantu akan menjadi ringan dan ceria semua beban kerja. Missal, di bulan Februari telah ada agenda lomba baca puisi untuk guru dan atau siswa, bulan Maret guru dan siswa peserta lomba atau bagi yang berminat diberikan pelatihan-pelatihan (menulis atau membaca sastra dll) dengan program yang telah disusun, diseting sedemikian rupa. Bulan-bulan berikutnya adalah waktu untuk ikut serta dalam bentuk-bentuk penampilan, pergelaran, bahkan mereka juga akan mengikuti lomba penulisan untuk skala lebih luas, juga selalu dan selalu dimotivasi untuk mengirimkan sebanyak-banyaknya karya mereka ke berbagai media di seluruh penjuru tanah air. Atau ada deal dengan media lokal Kalsel agar karya-karya mereka dapat dimuat dan dibaca oleh masyarakat sastra di luar daerahnya sendiri. Banyak tema yang dapat diangkat kepermukaan dengan media tulis, dengan media sastra.

Aruh Sastra ini adalah bagian ajang silaturrahim para pegiat sastra dengan masyarakatnya. Sastrawan bertemu dan berbincang dengan guru serta murid-murid. Boleh jadi di ajang ini akan lebih membuka cakrawala, lebih bersiap-sedia menerima kritik yang biasanya hadir dalam bentuk dialog-dialog, cakapan-cakapan, obrolan-obrolan, atau badadapatan wan bapapandiran nang kaya kita di warung-warung subalah rumah kita jua. Aruh Sastra itu sendiri tentu harus memberikan kesan bahwa semua berjalan dengan baik sesuai dengan perencanaan, tamu yang datang dilayani dengan baik, panitia bersikap dan berbuat sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. Tempat atau lokasi serta suasana silaturrahim terjaga dan mendatangkan kepuasan bagi tuan rumah serta bagi tamu yang sudah jauh-jauh tempat datang bertandang, datang berkunjung. Aruh Sastra hanya dilaksanakan 3 (tiga) hari, apakah setelah itu selesai? Dengan tegas, jawabnya Tidak. Itu belum selesai. Karena yang paling pokok dalam pelaksanaan itu adalah, “Apa yang dapat terjadi setelah para tamu itu pulang ke daerahnya masing-masing?”

Bila Aruh Sastra di Barabai telah dilaksanakan pada tahun 2011 ini maka bagaimana gelora itu grafik ‘bersastra’-nya meningkat di tahun-tahun berikutnya dan begitu untuk seterusnya. Gelora itu boleh jadi secara jumlah atau meningkat secara mutu, secara kuantitas ataupun kualitasnya. Perhatian pihak-pihak terkait, Pemkab HST utamanya maupun aktivitas pelaku-pelaku sastranya, tetap terjaga dan menampilkan dirinya dengan sejumlah karya. Sastrawan wajib memiliki karya sastranya, di luar itu maka, “Akh, tak ada artinya”. Hampa udara.

Nah, peran guru (yang ada di Barabai utamanya) harus ambil posisi sebagai ‘penjaga’ keberlangsungan sastra bersama para sastrawannya sendiri. Bila tidak maka siapa lagi yang akan mampu menjembatani perjalanan panjang dari gagasan-gagasan besar, ide-ide besar, pikiran-pikiran besar yang kreatif dan inovatif tertanam, tumbuh, berkembang di benak anak-anak bangsa, anak-anak generasi ke generasi berikutnya. Capaian puncaknya boleh jadi terwujud ketika para guru itu duduk tenang sebagai penonton di luar arena. Sungguh pemandangan yang mengharukan, yang mendamaikan dan bahagia tentu saja. (Ideal memang, tetapi ini adalah bagian dari citra identitas dan kearifan lokal yang patut disuarakan, karena sastra juga berfungsi sebagai titik pertahanan mental dari derasnya serbuan budaya-budaya dari luar). Di dadaku ada kebanggaan untuk daerahku sendiri.

Berharap agar ASKS membuka peluang kepada potensi-potensi yang ada, yang belum terlihat akan dibaca keberadaannya. Potensi kepariwisataan, potensi-potensi budaya, dan ‘fungsi keterbacaan’ itu akan berdampak kepada kemajuan. Ingatkah kita pada keterpurukan Jepang saat kedua bom dijatuhkan, tetapi hal yang pertama dihimpun untuk membangkitkan semangat kemajuan bangsanya adalah guru. Ini pilar. Kita tentu saja tidak ingin menyaksikan keterpurukan sastra, tidak ingin mengalami keterpurukan budaya.

Jalan-jalan ke Barabai
Jangan lupa membeli apam
Panitia Aruh Sastra janganlah lalai
Supaya jalan semua program


/asa, banjarbaru 11 januari 2011


Tidak ada komentar: