jangan babisabisa mun kada tahu


Rabu, 10 Agustus 2011

BUKU TIDAK GERATIS ( Jelang agenda Aruh Sastra VIII di Barabai tahun 2011 )


Oleh: Ali Syamsudin Arsi

Menulis memang upaya mencerdaskan, tetapi penghargaan terhadap karya tulis masih perlu ditingkatkan. Harga sebuah buku boleh jadi tidak sebanding dengan manfaat ilmu yang terkandung di dalamnya. Buku-buku fiksi, buku-buku non fiksi begitu banyak bertumpuk berjejal bahkan betapa penuh rak-rak buku yang terpajang rapi atau betapa berseraknya buku-buku itu, di sebuah kamar sempit di ruang-ruang khusus membaca di pojok-pojok bilik, semua itu memerlukan perlakuan agar kandungan dari susunan hurup kata-kata kalimat-kalimat dengan ide-ide cerdasnya gagasan-gagasan cemerlangnya, buku seakan mengatakan bahwa ‘betapa kecilnya dunia ini karena ilmu’, walau kita tahu masih banyak penguraian unsur-unsur dalam ilmu itu yang tak menemukan ketuntasannya. Ketidak-tuntasan itu adalah bagian panjang dari mata-rantai pengetahuan. Simpulan dari sebuah penelitian yang satu boleh jadi meruntuhkan simpulan teori sebelumnya Sikap yang positif terhadap sebuah buku memang harus masih diletakkan pada posisi yang sewajarnya, bila bangsa ini ingin maju, cerdas dan berwawasan. Begitu pula dengan maraknya kehadiran buku-buku fiksi, buku-buku kumpulan puisi, kumpulan cerpen dan sebagainya. Dalam setiap agenda Aruh Sastra, selalu saja diupayakan penerbitan buku-buku itu, sejak pelaksanaan di Kandangan, sebagai cikal-bakal agenda akbar tersebut, sampai pada kegiatan aruh sastra yang dilaksanakan di kota Tanjung pada tahun 2010 ini. Sungguh sebuah kabar yang sangat menggembirakan. Hal yang menarik untuk dicermati adalah semakin ‘meriahnya’ penjualan buku-buku yang digelar pada saat berlangsungnya agenda aruh itu. Saya melihat sejak di Pagatan telah ada upaya penjualan buku-buku (terutama buku-buku sastra) walau dalam jumlah sedikit, lalu berlanjut di Kotabaru. Di Amuntai bahkan sempat terlihat 3 lokasi (lapak) penjualan, di Paringin ada 2 lapak, di Marabahan ada 2 lapak, di Tanjung ada 3 lapak. Biasanya ada Bapak Samsiar Seman yang secara khusus menawarkan buku-buku bernuansa tradisional Banjar dan ini perlu dilanjutkan, lalu ada Isuur Loeweng cs, juga ada Hajriansyah cs dengan produk dari Tahura Media, kemudian saya sendiri dengan sedikit buku ikut meramaikan ‘kemeriahan itu’.

Sampai saat ini lihatlah di setiap perpustakaan yang ada di dalam wilayah Kalimantan Selatan, berapa buah buku yang penulisnya merupakan ‘anak banua’, boleh jadi buku-buku itu ditulis oleh orang-orang dari luar. Sudah saatnya aktifitas menulis itu digiatkan dan dipompa daya ciptanya. Sudah saatnya rak-rak buku yang ada merupakan tempat bertengger, memajang nama-nama penulis ‘orang-orang kita sendiri’. Upaya untuk menggairahkan semangat kemeriahan itu harus ada dari semua sisi yang memang memungkinkan, pemerintah, masyarakat swasta, para pendidik, mahasiswa, pelajar dan siswa, pegiat pecinta buku, anak-anak pembaca mania, penulis, penyair dan sastrawan,bahkan dosen. Sayang bila ketika kita memasuki toko-toko buku yang terpampang nama-nama penulisnya melulu ‘orang asing’ dari diri kita sendiri. Upaya ini harus digalakkan, harus ada kerja keras agar kemeriahan dan gairah mencerdaskan itu benar-benar terwujud secara nyata. Kegairahan ini tentu saja wajib dikabarkan, boleh jadi selama ini lebih banyak buku-buku yang berupa kumpulan puisi walau dalam jumlah yang amat sangat sedikit sekali, tetapi kegairahan ini juga diharapkan kepada para penulis di ranah bidang ilmu yang lain, karena ini akan berdampak kepada kegairahan aktifitas lain, penelitian misalnya. Peran media massa juga sangatlah diharapkan dapat memberikan ruang seluas-luasnya untuk itu, terutama surat kabar, majalah, tabloid yang beredar di wilayah kita sendiri. Lomba-lomba penulisan harus pula lebih gencar dilakukan. Bila kita fokus kepada upaya ‘mencerdaskan anak banua’ maka tidak bisa lain selain melalui upaya-upaya yang tidak lepas dari aktifitas ‘membaca dan menulis’. Budaya lisan, budaya bapandiran, budaya orasi, budaya bakesah yang sudah berkembang terlebih dahulu pada masyarakat kita adalah lebih cerdas bila didasari oleh data-data yang terlebih dahulu harus diambil dan diserap dari teks-teks buku yang akurat. Jadi ada landasan teori serta dalil-dalil yang dapat dipertanggung-jawabkan, bukan berdasarkan ‘ilmu dadangaran’ yang kadangkala sangat kurang bernilai.

Pada waktu memasarkan buku-buku di kota Tanjung saat peristiwa Aruh Sastra VII, saya teringat betapa ‘menghargainya’ panitia Temu Sastrawan Indonesia 3 (TSI 3) di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, pada bulan Oktober tahun 2010 yang lalu. Panitia TSI 3 telah memuat 1 puisi saya (Banjarbaru) yang berjudul Burung-Burung Murdjani. Puisi itu dimuat dalam buku berjudul Percakapan Lingua Franca. Dari Kalimantan Selatan selain saya ada pula Bang Eko Suryadi WS (Kotabaru) dengan menampilkan 2 puisi yang berjudul (1) Di Langit Kota Ada Menara, (2) Fenomena; Saudara Hajriansyah (Banjarmasin) menapilkan 3 puisi yaitu, (1) Tentang Badan dan Kepergian, (2) Tentang Dirimu,dan (3) Tentang Kehilangan; terakhir adalah Dangsanak Sandi Firly (Martapura) yang menampilkan 2 puisi dengan judul (1) Sajak Sebatang Pohon Karet, (2) Yang Bertahan dan Melawan.

Istimewa.

Yang istimewa adalah panitia memberikan honor atas pemuatan puisi tersebut kepada para penulisnya. Teristimewa lagi yang saya alami langsung adalah, walau saya tidak dapat berhadir ke Tanjungpinang tetapi oleh panitia dana honor itu ditransfer ke nomor rekening yang saya kirimkan, sebuah sikap ‘menghargai yang patut ditiru’ agar ke depan terutama untuk Barabai. Semisal setiap penulis yang karyanya (puisi atau cerpen) dimuat ke dalam buku kumpulan puisi Aruh Sastra mendapatkan honor sewajarnya, bagaimana bila kisaran nominalnya Rp. 100.000,- sampai dengan Rp. 250.000,- tentu saja disesuaikan dengan jumlah dana yang tersedia. Boleh saja berdasarkan jumlah karya yang dimuat atau disama-ratakan saja. Ini ‘bentuk apresiasi nyata karena karya penulisnya dihargai secara positif dan bernilai’. Semoga saja. Kemudian oplah buku yang diterbitkan oleh panitia pun dipastikan dalam jumlah yang banyak, karena akan didistribusikan ke setiap jajaran semua dinas di Pemkab HST, semisal setiap dinas dijatah 100 eksemplar. Itu tidak digratiskan tetapi dinas akan memberikan pembayaran selayaknya pembelian buku walau boleh jadi memberlakukan diskon sewajarnya.

Aruh Sastra VIII di Barabai, adakah komitmen jelas dari instansi terkaitnya?

Komitmen para petinggi pemerintahan sangatlah ditunggu, diharap mereka terlibat masuk dan meleburkan diri pada ajang ini dengan formasi serta kekentalan nuansa sastra yang hadir dapat dirasakan, sederhana, bersahaja, apa adanya. Mampukah panitia menghadirkan bapak Bupati HST sebagai salah satu narasumber dalam suasana seminar atau minimal di ajang khusus, ada tanya jawab tentang pertumbuhan sastra, tentang perkembangan sastra,tentang kebijakan-kebijakan yang berkaitan sastra, serta tentang harapan-harapan bersama misalnya, dalam durasi yang cukup, bukan sekedar, sepintas, sekilas, lalu lenyap berlalu begitu saja. Kepala dinas kebudayaan pun sudah sewajarnya tampil ke depan, tidak perlu bersikap ‘diwakilkan saja’, Masyarakat Barabai (HST) adalah masyarakat yang hidup penuh dengan keramahan, kesederhanaan dan bersahaja, maka kita tampilkan itu dalam suasana aruh sastra.

Komitmen dari semua unsur kepanitiaan pun harus pula benar-benar memahami maksud dan tujuan kegiatan aruh dimaksud. Bila tidak terbuka dalam hal pendanaan serta biaya pelaksanaan kepada semua anggotanya maka akan memberikan dampak kerja yang sangat merugikan. Terutama mereka yang pegang kendali keuangan, boleh jadi ketuanya, boleh jadi bendaharanya, boleh jadi para ketua bidang di masing-masing pos tugasnya. Apabila masih ada yang berkilah bahwa dananya kurang, dananya lambat cairnya, dananya entah di mana, maka itu akan beralamat kekacauan dan aruh sendiri menerima dampak yang tidak nyaman, sehingga wajarlah bila aruh itu akhirnya menjadi sepi.

Kabar yang sangat menggembirakan adalah pada saat agenda Temu Sastrawan Indonesia 3 di Tanjungpinang, ternyata Bupatinya benar-benar lebur dalam sepenuh acara, kabar gembira itu tentu saja berjalan lurus dengan pemandangan yang terjadi di daerah kita sebagai harapan. (akh, semoga tidak berlebihan harapan ini). Aruh Sastra VIII di Barabai nanti, bukan suasana yang formal, kaku dan ‘tidak puitis’ he he.









Tidak ada komentar: