jangan babisabisa mun kada tahu


Rabu, 10 Agustus 2011

MENYIMAK SUARA DARI BARIKIN DAN KOTABARU


Oleh: Ali Syamsudin Arsi

Tiba-tiba saja saya tersentak dan seluruh persendian merespon cepat. Gendang telinga saya berdengung hebat. Saya mencoba menetralisir kondisi sesegera mungkin. Pelan dan pasti. Konsentrasi memulihkan situasi yang terjadi. Ada yang harus segera diuraikan.

Respon pertama saya dingin-dingin saja terhadap kabar bahwa Kabupaten Hulu Sungai Tengah ‘sangat siap’ menjadi tuan rumah agenda Aruh Sastra Kalimantan (Selatan), ASK yang rencananya akan dilaksanakan tahun 2011 nanti. Pernyataan itu dikemukakan oleh Bapak Muhammad Yusuf, Kepala Disporabudpar Kabupaten HST ketika memberikan respon positif terhadap suksesnya Teater Mamang yang saya tahu dikomandani oleh seorang Sastrawan Barabai, yaitu H. Fahmi Wahid, di ajang Festival Teater Modern beberapa waktu yang lewat. Pernyataan seperti itu juga saya simak ketika berada di Marabahan ketika ada diskusi kecil nonformal bersama rombongan aruh sastra dari Tanjung yang ternyata dalam perjalanannya banyak sekali tidak sesuai dengan kenyataan. Yang lebih saya tekankan adalah adanya kosa kata “siap” dalam pernyataan itu. Sebagai seorang yang memang bekerja sebagai ‘pengotak-atik kata-kata dengan segala macam perangkat lunak dan perangkat kerasnya’ maka kata “siap” itu harus mengalami berbagai tes uji kemungkinan, berbagai tes uji pemaknaan, tes uji penafsiran, tes uji kebenaran secara teori atau secara praktek pelaksanaannya. Orang lain boleh saja mengatakan dengan mudah vulgar dan terbuka bahwa kata “siap” yang dimaksud adalah “akan menjadi sukses”, tetapi sebenarnya kandungan kata itu, berdasarkan pengalaman pelaksanaan agenda Aruh Sastra Kalimantan Selatan di beberapa kota kabupaten adalah masih jauh dari yang diharapkan.’Siap’ untuk melaksanakan sesuai kehendak kami sendiri.”Siap” untuk melaksanakan apa adanya yang penting terlaksana dan persoalan capaian itu urusan yang ke sekian ratus. ‘Siap’ untuk melaporkan berapa pun besaran biayanya yang penting diterima dan tidak ada gugatan apa pun juga bentuknya. ‘Siap’ untuk tidak bekerja sama dengan pihak lain karena ini anggaran ada pada ‘kekuasaan kami’. Dan banyak lagi tafsiran kata “siap” yang berkonotasi negative karena memang membuka peluang ke arah itu. Tentu saja yang diharapkan adalah sesuatu yang ke arah positif.

Aruh Sastra VI di Marabahan menyisakan ‘luka dalam dan sangat tidak menyenangkan’. Ini terjadi karena kemitraan dan koordinasi itu tidak sesuai dengan yang dicanangkan, yang telah disepakati sebelumnya. Kemitraan antara Disporabudpar pada waktu itu dengan pihak Dewan Kesenian Barito Kuala berjalan tidak seiring dan sangat tidak sejalan. Puncak ketidak harmonisan itu ternyata semakin muncul ke permukaan ketika pada tanggal dan hari yang sama di Banjarmasin diadakan agenda yang sama dengan tulisan spanduk berbeda kalimatnya. Persoalan ini masih dalam tanda tanya besar, Ada apa sebenarnya. Saya sangat berharap agar pelaksanaan Aruh Sastra di Barabai tidak terjadi dengan cara mengantisipasi terlebih dahulu. Antisipasi yang paling mendasar adalah membuka pintu kemitraan dan koordinasi ke berbagai pihak, ya sekali lagi ‘ke berbagai pihak’, artinya bukan hanya ‘ke satu pihak’. Apabila kemitraan ini berjalan maka akan terhindar dari adanya ‘praktek-praktek yang tidak kita kehendaki semua. Hal itu ternyata dapat saya temukan karena ada suara dari Barikin yang teramat memilukan, betapa tidak ketika acara rutin yang diadakan setiap tahun pada perayaan Hari Jadi Kabupaten Hulu Sungai Tengah sangat terasa bahwa kelompok atau kampong seniman tradisional tidak dilibatkan sama sekali. Ini sebuah bukti bahwa kata “siap’ itu untuk apa, siapa, dan kemana arahnya. Saya menikmati kata ‘Barikin’ sebagaimana saya menyaksikan betapa kuatnya lenting-lenting suara dari senar musik panting, wayang kulit, tari topeng, wayang gung. Mereka bukan hanya sekedar bermain tetapi mereka sangat memahami dan tetap dalam posisi mempertahankan tradisi. Posisi mereka memang antara dua kekuatan, berada antara derasnya seni-seni pop dan hiruk pikuk modernisasi. Padahal daya dan energi, tenaga, pikiran akan selalu memperhatikan keberadaannya, pertumbuhannya, perkembangannya, pelestariannya adalah juga berada pada pundak Pemerintah Kabupaten yang secara jelas dan nyata berada di telapak tangan Disporabudpar Kabupaten HST. Apa yang sedang terjadi di sana ? menyimak sebuah kata “Barikin” adalah sebuah upaya pembelajaran ‘mempertahankan tradisi’ yang telah berurat-berakar. Begitu kuat, begitu kokoh. Dan itu sebagai aset penting dari sikap memperlakukan budaya dengan cara yang berbudaya. Kesenian bagi mereka bukan lipstick belaka, kesenian bagi mereka bukan polesan belaka, tetapi napas hidup yang berjalan antara tubuh dengan bayang-bayang, satu kesatuan yang tak terlepaskan. Saya pun menjadi tiris karenanya. Lalu bagaimana jadinya agenda Aruh Sastra yang notabene dapat dihitung kurang dari 10 jari para tokoh-tokoh sastrawannya, para pegiatnya, sastrawannya. Akh, perhatian apa yang harus menjawab ketika kata “siap” itu menjadi bertolak belakang dengan yang diharapkan. Sungguh tiris perasaan. Tapi tentu saja saya pun yakin bahwa hal seperti itu tidak akan memupuskan langkah mereka untuk berkesenian, itu hanya riak kecil yang akan cepat berlalu. Hanya saja, hal seperti ini jangan sampai berulang dan selalu berulang, adalah sebuah cermin bahwa lemahnya perencanaan dari sebuah instansi yang jelas-jelas bagian dari urusannya. Semakin kuat pemahaman kepada,”Jangan serahkan urusan kepada yang bukan ahlinya.”

Ketirisan ini berbalik arah ketika ada suara lain yang masuk dalam simak-telinga saya. Semalam di Kotabaru,adalah sebuah penanda bahwa gerak-langkah, komitmen-sikap nyata telah terbentuk. Bentuk-bentuk apresiasi seperti ini tidak hanya mereka lakukan sesekali ini saja, sudah sejak lama tradisi menghargai keberadaan serta kebernilaian sebuah karya seni menjadi bagian penting dalam arena perayaan yang bersinergi dengan perayaan lainnya. Tahun 1998, saya pertama kali meraih juara 1 dalam penulisan karya sastra berupa puisi. Lomba ini dilaksanakan oleh Departemen Sosial Provinsi Kalimantan Selatan. Tahun 1999 pihak Dewan Kesenian Kotabaru, waktu itu nahkoda kapalnya abang Eko Suryadi WS, merespon capaian itu dan saya pun mendapat tempat dalam jajaran ‘mereka yang menerima penghargaan’. Memang bukan hal yang utama bagi seorang penulis, bagi seorang sastrawan, bagi seorang penyair, kepada yang bernama penghargaan dalam bentuk seremonial itu, tetapi dengan adanya agenda itu maka betapa besar motivasi yang didapat. Saya sangat yakin dan percaya dengan apa yang dikatakan beliau pada malam penganugerahan itu bahwa ‘ayahnda’ H.Anang Ardiansyah pada saat penciptaan lagu monumental Paris Barantai itu, saat di mana irama, nada, tempo, syair yang tercipta serta suasana hati beliau, suasana sekat-sekat tubuh beliau, ada semacam ‘mengharapkan’ terjadi seperti yang oleh segenap warga Kotabaru memberikan ‘kado indah’ di penghujung tahun dari perjalanan panjang beliau dengan segala liuk-liuk, dengan segala pernik-pernik kehidupan. Tidak pernah mengharapkan. Pun begitu dengan sang pencipta lagu Halin, abang Syukri Munas yang telah tiada.

Bagaimana dengan daerah-daerah lain? Dalam hal ini yang segera mengambil sikap adalah para penentu kebijakan dari unsur pengusulan sampai upaya rembuk dan paparan-paparan, diskusi-diskusi yang pada akhirnya bersikap sama untuk ‘ketok palu memutuskan dan menetapkan’. Jumlah nilai besaran angka tentu saja boleh menjadi tidak sama, tetapi motivasi sebagai energi dari dalam dan bersikap nyata adalah bagian dari terus mengalirnya dayacipta-dayacipta tak ternlai di waktu-waktu yang akan dating. Dan hal semacam ini sangatlah penting untuk disuarakan, diumumkan sampai ke sudut-sudut pojok ruang sekolah, ke ujung-ujung belakang bangku kelas para siswa, tentu dengan melakukan penyimakan-penyimakan mendalam dan penuh penghayatan yang dilakukan oleh para guru agar proses pembelajaran tidak tertinggal oleh bahan ajar yang ada di sekitar lingkungan sendiri, agar kandungan lokalitas itu bukan datang dari setumpuk buku yang ditulis oleh pihak luar diri kita sendiri yang secara otomatis materi di dalamnya pun sama sekali tidak bersentuhan dengan akar budaya kita sendiri.

Akankah ada hal-hal yang memberikan isyarat kepada rasa gamang itu atau bahkan ada sinyal-sinyal pencerahan ketika Aruh Sastra Kalimantan Selatan VIII digelar di kota Barabai nanti (?). Sebenarnya ini, … akh !!!

/asa, banjarbaru awal tahun 2011




Tidak ada komentar: