jangan babisabisa mun kada tahu


Rabu, 10 Agustus 2011

ARUH SASTRA, BARABAI MENUNGGU KOMITMEN


Oleh: Ali Syamsudin Arsi

Kalimat lengkap dan santun dari judul tulisan ini sebenarnya begini : ‘Aruh Sastra Kalimantan Selatan VIII di Barabai tahun 2011 menunggu komitmen tegas dan nyata dari semua unsur yang terlibat di dalamnya.’

Kalimat lengkap itu menggiring kepada pertanyaan penting, yaitu ‘semua unsur yang terlibat di dalamnya itu siapa saja?’ Unsur-unsur itu tentu saja dari hal terkecil sampai ke posisi tertinggi, dan satu dengan yang lain memiliki kesamaan pandang, kemitraan, koordinasi, keterbukaan, efektifitas dan saling memahami. Pihak pertama adalah komitmen dari Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Hulu Sungai Tengah, Dinas Pemuda Olah Raga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Dinas Pendidikan Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Dewan Kesenian Murakata, Kelompok-kelompok atau Sanggar-sanggar seni (sastra dan teater) yang ada di Hulu Sungai Tengah, Dunia Usaha, Media Massa serta masyarakat Hulu Sungai Tengah itu sendiri.

Bertempat di salah satu ruang PGSD FKIP Unlam Banjarmasin, telah hadir beberapa tokoh sentral warga Hulu Sungai Tengah yang peduli terhadap agenda aruh sastra ini bersilaturrahim, berbincang santai namun dari itu tercetus kata kunci terhadap kelancaran dan kesuksesan pelaksanaan agenda penting di Barabai tahun 2011 nanti yaitu Aruh Sastra Kalimantan Selatan VIII, kata kunci itu diucapkan oleh Bapak H. Akhmad Makkie,”Terpenting dari awal agenda aruh ini adalah komitmen,” kata beliau yang sekarang menjabat sebagai ketua MUI Kalsel kini tinggal di Banjarmasin. Beliau melanjutkan, “Komitmen yang paling ditunggu adalah dari pejabat yang ada di Barabai, terutama kepada Bapak Bupati Hulu Sungai Tengah, sebab dari komitmen inilah segala sesuatu dapat kita mulai melakukan semua agenda kegiatan aruh sastra itu.” Kami sepakat dan sepemikiran terhadap komitmen ini.

Setelah itu komitmen dari para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Hulu Sungai Tengah yang diharapkan sesegera mungkin memberikan respon positif, baik terhadap agenda aruh sastra itu sendiri dengan efek-efek positif yang diimbaskannya, serta kepastian posisi jalur pendanaannya. Dari keterangan Fahmi Wahid selaku pihak pengusul yang melakukan lobi, didapat kabar bahwa ada 2 kemungkinan pos pendanaan, yaitu 1) Pengelolaan, penggunaan serta pelaporan sepenuhnya berada pada pihak Dinas Pemuda Olah Raga, Kebudayaan dan Pariwisata, dan 2) Pengelolaan, penggunaan serta pelaporan sepenuhnya oleh Panitia Aruh Sastra yang bersifat hibah, walau posisi dana tetap berada dalam anggaran Dinas Pemuda Olah Raga, Kebudayaan dan Pariwisata. Pertanyaan besarnya adalah, “Sudikah kiranya pihak Dinas Pemuda Olah Raga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Hulu Sungai Tengah menghibahkan dana tersebut kepada pihak Panitia Aruh Sastra VIII yang penyusunan kepanitiaannya, program kegiatan, pembagian anggaran serta pelaporannya dilakukan oleh rekan-rekan seniman dan pegiat sastra yang mengerti duduk persoalan agenda aruh sastra itu sendiri. Bukan berarti menghilangkan ‘fungsi dan keterlibatan’ pihak Dinas Pemuda Olah Raga, Kebudayaan dan Pariwisata, terutama jajaran Kasi Kebudayaannya, tetapi dengan berlapang dada agar Dinas Pemuda Olah Raga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Hulu Sungai Tengah bukan pihak yang sepenuhnya menentukan atau bersikap dominan.

Komitmen yang mengarah pada berani bersikap ‘lapang dada’ dan tentu saja didasari oleh saling percaya itu akan membuka jalan ‘lancar dan sukses’. Tapi, pihak panitia pun harus pula melakukan langkah-langkah nyata, terbuka, sebab bila tidak, “Apa kata dunia, ternyata sama saja!!!”, Ini bukan hanya masalah proyek yang di tahun-tahun berikutnya tidak akan pernah ada lagi, tetapi kita berharap bahwa akan ada kelanjutan dari even aruh sastra ini, akan ada efek positif sejalan dengan peningkatan-peningkatan daya apresiasi masyarakat yang boleh jadi ‘dari imajinasi kreatif kepada capaian-capaian majunya teknologi’. Dari suara-suara yang sastrawi kepada puncak-puncak kesadaran hakiki.

Berkesempatan hadir pada sore itu, Minggu tanggal 26 Desember 2010, adalah Dr.. H. Rustam Effendi selaku fasilitator silaturrahim dan tokoh pendidik, tinggal di Banjarmasin. Drs. Syamsiar Seman tokoh budayawan Kalsel, tinggal di Banjarmasin. Drs. Mukhlis Maman ‘Julak Marau warung bubuhan’, tinggal di Banjarmasin. Fahmi Wahid selaku pegiat dan penggerak seni tinggal di Barabai yang akan terlibat jauh dalam kepanitiaan aruh serta Ketua Dewan Kesenian Murakata (HST), Arsyad Indradi lebih dikenal dengan ‘Si Penyair Gila’, tinggal di Banjarbaru. Bram Lesmana, tokoh teater dan pegiat seni kini tinggal di Banjarbaru dan Rantau. Dan saya sendiri (Ali Syamsudin Arsi) tinggal di Banjarbaru. Bagaimana warga di Barabai sendiri ?

Silaturrahim dan bincang-bincang itu sendiri memang mengarah kepada bentuk motivasi agar kegiatan aruh sastra di Barabai nanti berjalan lancar dan sukses. Kami sepakat bahwa kata ‘sukses’ itu lebih bertumpu kepada 3 tahap yang harus dijalani dengan skala prioritas pada tahap pasca aruh sastra itu sendiri. Mengapa pasca ?

Ada 3 tahap dalam agenda aruh sastra itu sebenarnya. Pertama tahap Pra-Aruh, kedua adalah Aruh itu sendiri, dan ketiga adalah Pasca-Aruh.

Pra-Aruh, berupaya membangun kesadaran bahwa Sastra itu sangatlah diperlukan dalam tatanan hidup manusia, dan Sastra sebagai satu unsur kesenian dalam pondasi berkebudayaan. Tentu saja ini memerlukan energi publikasi agar puncak-puncak sosialisasi dapat teratasi. Aruh itu sendiri, merupakan ajang atau tempat bertemu pemikiran-pemikiran cerdas dan cemerlang, membangkitkan gairah-gairah kreatifitas seraya membenahi dan menyusun kerangka budaya ke arah yang lebih baik sebagai puncak capaian. Pasca Aruh,prioritas utama ini adalah sejauh mana efek domino dari energi kreatifitas itu melebarkan sayapnya ke banyak penjuru, ke cikal-bakal pelaku budaya sebagai penerus, kedalaman-kedalaman penghayatan terhadap nilai-nilai budaya itu sendiri dengan implementasi yang nyata, konkrit dan berkesinambungan. Titik berat pada tahap pasca ini adalah dunia pendidikan, setelah itu tentu saja kegairahan berkreasi, berani mencipta, berani memulai dengan inovasi-inovasi walau terkadang memang harus berada jauh dari tempat duduk dalam zamannya sendiri, orang lain boleh saja mengatakan ini sebagai mimpi, tetapi mengapa masih banyak yang takut bermimpi. Mimpi dan kreatifitas boleh jadi saling mengisi. /asa, banjarbaru, 28 desember 2010



Tidak ada komentar: